Blue Carbon dan Ekonomi Biru: Peran Sektor Kelautan dalam Perubahan Iklim

Blue Carbon dan Ekonomi Biru: Peran Sektor Kelautan dalam Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan isu global yang membutuhkan tindakan nyata dari berbagai sektor, termasuk sektor kelautan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebagai institusi yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya laut Indonesia, memiliki peran penting dalam pengendalian perubahan iklim. KKP bertugas sebagai penanggung jawab isu ocean and climate di Indonesia untuk Konvensi Perubahan Iklim, dan juga sebagai pelaksana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di sektor kelautan.

Blue Carbon: Potensi Tersembunyi Ekosistem Pesisir

Salah satu fokus utama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah pengembangan sektor karbon biru (blue carbon). Sektor ini berkaitan dengan kemampuan ekosistem pesisir, seperti mangrove, lamun, dan rawa payau, dalam menyerap dan menyimpan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Ekosistem ini tidak hanya penting bagi keanekaragaman hayati dan ketahanan masyarakat pesisir, tetapi juga memiliki peran besar dalam mitigasi perubahan iklim.

Mangrove, misalnya, mampu menyerap emisi gas rumah kaca empat hingga lima kali lebih banyak daripada ekosistem di darat. Indonesia memiliki sekitar 3,36 juta hektar mangrove yang diperkirakan dapat menyerap 11 miliar ton karbon, dengan nilai ekonomi mencapai 66 miliar USD. Sementara itu, lamun, dengan luas sekitar 1,8 juta hektar berpotensi menyerap 790 juta ton karbon atau setara dengan 35 miliar USD.

Strategi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam Ekonomi Biru

Untuk memaksimalkan potensi karbon biru (blue carbon), KKP telah menyusun aksi mitigasi perubahan iklim di sektor kelautan, yang didukung oleh United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia. Aksi ini bertujuan untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, sebuah dokumen yang berisi komitmen nasional dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu, KKP memiliki lima strategi utama dalam menerapkan kebijakan ekonomi biru yang berkelanjutan:

  1. Perluasan Kawasan Konservasi: Konservasi laut penting untuk melindungi ekosistem karbon biru dan keanekaragaman hayati laut.
  2. Penangkapan Ikan Terukur Berbasis Kuota: Sistem ini bertujuan untuk menjaga populasi ikan tetap lestari dan mencegah overfishing.
  3. Pengembangan Budidaya Ramah Lingkungan: Budidaya perikanan yang berkelanjutan di laut, pesisir, dan pedalaman dapat meningkatkan produksi pangan tanpa merusak lingkungan.
  4. Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil: KKP berupaya mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu, melibatkan masyarakat setempat dalam proses pengambilan keputusan.
  5. Pengelolaan Sampah Plastik di Laut: Sampah plastik merupakan masalah serius bagi ekosistem laut. KKP berupaya mengurangi sampah plastik yang masuk ke laut melalui berbagai program dan kebijakan.

Pengelolaan karbon biru (blue carbon) memiliki tantangan tersendiri. Dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, untuk memastikan keberlanjutan ekosistem ini. Selain itu, penelitian dan pengembangan lebih lanjut diperlukan untuk memahami potensi karbon biru secara lebih komprehensif.

Namun, ada peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi yang terdepan dalam pengelolaan karbon biru. Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan komitmen yang kuat dari pemerintah, Indonesia dapat memanfaatkan karbon biru sebagai solusi inovatif untuk mengatasi perubahan iklim, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Sektor kelautan memiliki peran penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Melalui pengelolaan karbon biru yang efektif dan berkelanjutan, Indonesia dapat mencapai target NDC, melindungi keanekaragaman hayati laut, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Ekonomi biru bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan ekosistem laut untuk masa depan yang lebih baik.

Jasa Pendampingan Pencapaian Net Zero Emission Industri Insektisida

Jasa Pendampingan Pencapaian Net Zero Emission Industri Insektisida

Industri insektisida menciptakan produk untuk melindungi tanaman dari serangan hama yang dapat merusak hasil panen dan menimbulkan kerugian besar bagi petani. Selain itu, insektisida juga digunakan untuk mengendalikan serangga penyebar penyakit, seperti nyamuk yang menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.  Namun, di balik manfaat yang diberikan, industri insektisida juga menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal keberlanjutan. Di era perubahan iklim seperti sekarang, dunia menuntut setiap sektor industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Proses produksi insektisida yang melibatkan penggunaan bahan kimia, energi tinggi, berpotensi menjadi salah satu sumber emisi karbon yang perlu dikelola dengan lebih baik.

Fungsi dan Alasan Diciptakannya Insektisida

Di sektor pertanian, hama merupakan salah satu ancaman utama yang dapat mengurangi hasil panen secara drastis. Tanaman yang tidak terlindungi sering kali gagal memberikan hasil maksimal, yang pada akhirnya memengaruhi ketersediaan pangan dan pendapatan petani.

Di sisi lain, dalam dunia kesehatan, insektisida menjadi senjata penting untuk melawan serangga pembawa penyakit. Serangga seperti nyamuk, lalat, dan kutu dapat menyebarkan penyakit yang berbahaya, seperti malaria, demam berdarah, dan penyakit Lyme. Tanpa adanya insektisida, penanganan penyakit-penyakit ini akan jauh lebih sulit dan memakan biaya yang besar.

Industri insektisida kini berada dalam sorotan karena dampaknya terhadap lingkungan. Proses produksi insektisida, mulai dari sintesis bahan kimia hingga pengemasan, membutuhkan energi yang besar dan menghasilkan limbah yang berpotensi mencemari lingkungan. Selain itu, residu insektisida yang tersisa di tanah dan air dapat merusak ekosistem dan mengganggu keseimbangan alam.

Dalam beberapa tahun terakhir, perhatian masyarakat terhadap jejak karbon produk insektisida semakin meningkat. Konsumen kini lebih peduli pada bagaimana sebuah produk diproduksi, apakah prosesnya ramah lingkungan, dan bagaimana dampaknya terhadap keberlanjutan ekosistem. Tekanan ini membuat banyak perusahaan insektisida mulai mengadopsi praktik yang lebih berkelanjutan.

Ancaman yang Dihadapi Industri Insektisida

Salah satu ancaman terbesar bagi industri insektisida adalah dampaknya terhadap lingkungan. Limbah dari proses produksi insektisida dapat mencemari tanah, air, dan bahkan memengaruhi kualitas udara. Paparan insektisida yang tidak terkontrol juga dapat berdampak negatif pada kesehatan manusia dan satwa liar.

Selain itu, munculnya alternatif produk berbasis biologi, seperti insektisida organik, memberikan tantangan baru bagi industri konvensional. Produk-produk ini dianggap lebih aman dan sesuai dengan tren keberlanjutan. Jika tidak berinovasi, perusahaan insektisida tradisional bisa kehilangan pangsa pasar yang semakin peduli terhadap keberlanjutan.

Proses Produksi Insektisida

Produksi insektisida melibatkan beberapa tahapan yang memerlukan keahlian tinggi. Tahap pertama adalah penelitian dan pengembangan bahan aktif yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan serangga secara efektif. Setelah bahan aktif ditemukan, proses sintesis kimia dilakukan untuk menghasilkan senyawa insektisida dalam jumlah besar.

Tahap berikutnya adalah formulasi, di mana bahan aktif dicampur dengan bahan tambahan untuk meningkatkan stabilitas dan efektivitasnya. Setelah proses ini selesai, insektisida dikemas dalam wadah yang aman dan didistribusikan ke pasar. Semua tahapan ini, meskipun esensial, membutuhkan energi yang besar dan menghasilkan emisi karbon yang perlu dikelola dengan bijak.

Industri Insektisida Menuju Net Zero Emission

Untuk mencapai Net Zero Emission (NZE), industri insektisida perlu melakukan beberapa hal. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengganti sumber energi fosil dengan energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin. Hal ini dapat mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari proses produksi.

Selain itu, efisiensi proses produksi dan hemat energi dapat membantu menekan emisi tanpa mengurangi kualitas produk. Pengelolaan limbah juga harus diperhatikan, dengan memanfaatkan metode daur ulang atau pengolahan limbah menjadi produk sampingan yang bermanfaat.

Perusahaan juga dapat berinvestasi dalam proyek-proyek pengurangan emisi, seperti reboisasi atau pengembangan teknologi karbon rendah. Langkah-langkah ini tidak hanya membantu perusahaan memenuhi target NZE, tetapi juga meningkatkan citra perusahaan di mata konsumen.

Pentingnya Jasa Pendampingan Pencapaian Net Zero Emssion

Transformasi menuju NZE bukanlah hal yang mudah, terutama bagi industri dengan proses produksi yang kompleks seperti insektisida. Oleh karena itu, jasa pendampingan menjadi kebutuhan penting untuk membantu perusahaan menyusun strategi keberlanjutan yang sesuai. Pendampingan ini meliputi identifikasi sumber emisi, perencanaan langkah pengurangan emisi, dan implementasi solusi berbasis teknologi.

Dengan dukungan dari tenaga ahli yang berpengalaman, perusahaan dapat mengoptimalkan upaya persahaan dalam mencapai target NZE tanpa mengorbankan efisiensi operasional atau kualitas produk. Pendampingan juga membantu perusahaan memahami standar keberlanjutan global, sehingga dapat tetap kompetitif di pasar internasional. Klik disini untuk jasa pendampingan pencapaian NZE!

Perusahaan dan Merek Insektisida di Indonesia

Di Indonesia, beberapa produk insektisida yang diproduksi perusahaan besar di Indonesia

  1. Baygon diproduksi oleh PT SC Johnson Indonesia
  2. Hit diproduksi oleh PT Megasari Makmur, anak perusahaan Godrej Group
  3. Domestos Nomos diproduksi oleh PT Technopia Lever
  4. Agrimec diproduksi oleh PT. Syngenta Indonesia
  5. Decis diproduksi oleh PT Bayer Indonesia
  6. Vape diproduksi oleh PT Fumakilla Indonesia
Jasa Penyusunan Climate-Related Disclosures Berdasar SASB Standards Sektor Industri Agrokimia

Jasa Penyusunan Climate-Related Disclosures Berdasar SASB Standards Sektor Industri Agrokimia

Perubahan iklim menjadi isu yang semakin mendesak di seluruh dunia, mempengaruhi berbagai sektor industri, termasuk agrokimia. Dalam konteks ini, penyusunan climate-related disclosures berdasar SASB Standards untuk sektor industri agrokimia menjadi sangat penting. Tujuan utama dari penyusunan pengungkapan ini adalah untuk memberikan transparansi kepada pemangku kepentingan mengenai risiko dan peluang yang terkait dengan perubahan iklim, serta untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan dapat digunakan dalam pengambilan keputusan investasi.

Tujuan Penyusunan Climate-Related Disclosures Berdasarkan SASB Standards

Climate-Related Disclosures berdasarkan SASB Standards merujuk pada pengungkapan informasi yang berkaitan dengan risiko dan peluang yang dihadapi perusahaan akibat perubahan iklim, yang diatur oleh Sustainability Accounting Standards Board (SASB). Pengungkapan ini bertujuan untuk memberikan informasi yang relevan bagi investor mengenai bagaimana perusahaan mengelola dampak perubahan iklim terhadap operasi dan kinerja keuangan mereka. Dengan mengikuti SASB Standards, perusahaan di sektor agrokimia dapat menunjukkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan. Hal ini juga membantu investor memahami potensi risiko yang mungkin timbul akibat perubahan iklim, sekaligus memberikan gambaran mengenai strategi mitigasi yang diterapkan oleh perusahaan.

Emisi Karbon dalam Sektor Agrokimia

Sektor industri agrokimia berkontribusi pada emisi karbon melalui berbagai proses, mulai dari produksi bahan kimia pertanian hingga penggunaan produk tersebut di lapangan. Proses produksi pupuk dan pestisida sering kali melibatkan penggunaan energi fosil, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Selain itu, penggunaan pupuk nitrogen dapat menyebabkan emisi nitrous oxide, gas rumah kaca yang memiliki potensi pemanasan global jauh lebih tinggi dibandingkan dengan karbon dioksida. Produk-produk agrokimia seperti pupuk nitrogen, herbisida untuk mengendalikan gulma, dan insektisida untuk menangkal hama, semuanya memiliki jejak karbon yang perlu diperhatikan dalam konteks perubahan iklim global.

Dampak Lingkungan dan Iklim

Industri agrokimia memiliki dampak yang cukup serius terhadap lingkungan dan iklim. Penggunaan bahan kimia pertanian dapat mencemari tanah dan air, serta mengurangi keanekaragaman hayati. Selain itu, praktik pertanian intensif yang bergantung pada pupuk kimia dapat mengarah pada degradasi tanah dan penurunan kualitas tanah dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan di sektor ini untuk melakukan pengungkapan terkait dampak lingkungan mereka agar dapat diidentifikasi dan dikelola dengan baik.

Perusahaan di Sektor Industri Agrokimia

Berikut adalah 10 perusahaan terkemuka yang bergerak di sektor industri agrokimia:

  1. PT Agrokimia Asia
  2. PT Asiana Chemicalindo Lestari
  3. PT Mestika Nusantara AgroKimia
  4. PT Petrosida Gresik
  5. PT Satya Agrindo Perkasa
  6. PT Propadu Konair Tahubun (PKT)
  7. PT Kurnia Agro Lestari
  8. PT ATS Inti Sampoerna
  9. PT Syngenta Indonesia
  10. PT Multikimia Agro Sejahtera

Kebutuhan Penyusunan Climate-Related Disclosures Berdasar SASB Standards

Climate-related disclosures berdasar SASB Standards dapat membantu perusahaan mengidentifikasi isu material yang berkaitan dengan perubahan iklim. Dengan menggunakan kerangka kerja SASB, perusahaan dapat mengungkapkan informasi tentang risiko fisik (seperti cuaca ekstrem) dan risiko transisi (seperti pergeseran kebijakan menuju keberlanjutan) yang mungkin memengaruhi operasi mereka. Ini juga mencakup strategi mitigasi yang diterapkan untuk mengurangi emisi karbon dan dampak lingkungan lainnya.

Untuk menyusun climate-related disclosures berdasarkan SASB Standards, elemen-elemen kunci yang perlu diperhatikan meliputi data emisi gas rumah kaca yang akurat, informasi rinci tentang praktik keberlanjutan perusahaan, serta analisis risiko yang menyeluruh terkait perubahan iklim. Selain itu, kebijakan internal perusahaan mengenai keberlanjutan yang jelas dan partisipasi aktif para pemangku kepentingan dalam proses pengungkapan juga sangat penting untuk memastikan kualitas dan relevansi informasi yang disampaikan. Dengan memenuhi semua persyaratan ini, perusahaan dapat menyusun laporan yang transparan dan dapat diandalkan, sehingga meningkatkan kepercayaan investor dan pemangku kepentingan lainnya.

Actia Membantu Penyusunan Climate-Related Disclosures Berdasar SASB Standards

Actia memiliki pengalaman dan keahlian dalam membantu perusahaan menyusun climate-related disclosures berdasarkan SASB Standards untuk sektor industri agrokimia. Kami menawarkan layanan konsultasi lengkap mulai dari identifikasi isu material hingga penyusunan laporan yang disesuuaikan dengan kebutuhan perusahaan Anda. Klik untuk konsultasi sekarang!

Dengan demikian, penyusunan climate-related disclosures bukan hanya memenuhi peraturan yang berlaku, tetapi juga menjadi langkah cermat bagi perusahaan dalam mengelola risiko dan peluang terkait perubahan iklim secara efektif.

Pelestarian Mangrove untuk Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD)

Pelestarian Mangrove untuk Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD)

Sejalan dengan tujuan Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD), DKI Jakarta dengan garis pantainya yang panjang, memiliki peran penting dalam pelestarian mangrove di Indonesia. Ekosistem mangrove di Jakarta berperan dalam penyerapan karbon dan melindungi garis pantai. Melalui pelestarian dan rehabilitasi mangrove, DKI Jakarta berupaya membangun kota yang tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

Tim MABI: Kolaborasi Multi-Sektor dalam RPRKD

Pada tahun 2023, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membentuk Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Bencana Iklim (MABI) melalui Keputusan Gubernur Nomor 209 Tahun 2023. Tim ini bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program dan aksi mitigasi serta adaptasi perubahan iklim di Jakarta.

Tim MABI terdiri dari dua pokja utama, yaitu pokja mitigasi perubahan iklim dan pokja adaptasi perubahan iklim. Kedua pokja ini didukung oleh tiga pokja lainnya, yaitu pokja komunikasi dan partisipasi masyarakat, pokja pendanaan dan kolaborasi, serta pokja riset dan inovasi.

Mangrove Jakarta dalam Konteks Global

Indonesia memiliki sekitar 20% dari total mangrove dunia, yaitu sekitar 3,36 juta hektar. Jakarta, sebagai bagian dari Indonesia, memiliki peran penting dalam pelestarian mangrove secara global.

RPRKD

Peta Mangrove Nasional 2023 menunjukkan bahwa mangrove tersebar di berbagai wilayah pesisir Indonesia, termasuk di Jakarta. Sebagian besar mangrove di Jakarta terdapat di bagian utara dan barat kota, meliputi Taman Wisata Alam, Hutan Induk Angke Kapuk, Suaka Margasatwa, dan jalur pengaman tol bandara.

Upaya Pemulihan Mangrove di Jakarta

Pelestarian mangrove di Jakarta menghadapi berbagai tantangan, seperti alih fungsi lahan akibat urbanisasi, degradasi akibat pencemaran sampah, dan ekspansi pemukiman. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya memulihkan dan meningkatkan luas hutan mangrove melalui penanaman dan rehabilitasi.

Teknik Penanaman Mangrove di Jakarta

Di Jakarta, penanaman mangrove dilakukan dengan dua teknik utama, yaitu teknik guludan oleh Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (DPHK) dan teknik rumpun berjarak oleh Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (DKPKP).

Teknik guludan adalah metode inovatif yang dirancang untuk menanam mangrove di lahan yang terendam air dalam, biasanya dengan kedalaman antara 1 hingga 2 meter. Metode ini melibatkan pembuatan struktur guludan dari cerucuk bambu yang diisi dengan tanah untuk menciptakan media tumbuh bagi bibit mangrove.

Sementara itu, teknik rumpun berjarak juga digunakan untuk penanaman mangrove namun dengan pendekatan yang berbeda. Metode ini menekankan pada penanaman bibit dalam kelompok atau rumpun pada jarak tertentu untuk memaksimalkan pertumbuhan dan kesehatan tanaman.

Kolaborasi dalam Penanaman Mangrove

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengapresiasi dan mendukung partisipasi berbagai pihak dalam penanaman mangrove. Kolaborasi dengan masyarakat dan berbagai stakeholder lainnya diharapkan dapat mempercepat upaya pelestarian mangrove di Jakarta.

RTRW 2042: Dukungan Kebijakan untuk Pelestarian Mangrove

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2042 mencantumkan beberapa arah kebijakan yang mendukung pelestarian mangrove, seperti perwujudan lingkungan kota yang berkelanjutan, peningkatan RTH dan badan air permukaan, serta perlindungan pesisir pulau-pulau.

Salah satu fokus utama RTRW DKI Jakarta adalah penciptaan lingkungan perkotaan yang lebih ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Peningkatan RTH menjadi salah satu langkah kunci dalam menciptakan ruang terbuka yang tidak hanya berfungsi sebagai paru-paru kota, tetapi juga sebagai habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna, termasuk mangrove. Dengan memperbanyak RTH, Jakarta diharapkan dapat mengurangi polusi udara dan meningkatkan kualitas hidup warganya.

Selain itu, RTRW juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap badan air permukaan. Dalam konteks ini, pengelolaan mangrove menjadi krusial karena hutan mangrove berfungsi sebagai penyangga alami yang melindungi pesisir dari abrasi dan intrusi air laut. Mangrove juga memiliki peran vital dalam menjaga kualitas air dengan menyaring polutan serta menyediakan habitat bagi berbagai organisme laut. Oleh karena itu, kebijakan RTRW yang mendukung pelestarian mangrove merupakan langkah strategis untuk menjaga keseimbangan ekosistem pesisir Jakarta.

Perlindungan terhadap pesisir pulau-pulau di Jakarta juga menjadi fokus penting dalam RTRW 2042. Upaya ini mencakup penguatan garis pantai untuk mencegah abrasi, serta pemantauan dan penegakan hukum terhadap aktivitas yang merusak ekosistem mangrove. Dengan demikian, diharapkan kawasan pesisir Jakarta dapat tetap lestari dan berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi daratan dari ancaman kenaikan permukaan air laut.

Penguatan Kapasitas dan Peran Masyarakat

Selain penanaman dan rehabilitasi, upaya pelestarian mangrove juga dilakukan melalui penguatan kapasitas masyarakat, penangkaran biota laut, serta kegiatan konservasi dan rehabilitasi yang berbasis masyarakat.

Pelestarian mangrove merupakan bagian integral dari RPRKD DKI Jakarta. Melalui kolaborasi multi-sektor dan pelibatan masyarakat, diharapkan upaya pelestarian mangrove di Jakarta dapat terus ditingkatkan, sehingga ekosistem mangrove dapat terus berperan dalam menjaga keberlanjutan pesisir dan mendukung tercapainya target RPRKD.

 

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan RPRKD DKI Jakarta

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan RPRKD DKI Jakarta

Perubahan iklim merupakan isu yang menuntut perhatian serius dari seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. DKI Jakarta, salah satu kota yang menjadi pusat aktivitas ekonomi menghadapi tantangan besar akibat dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, cuaca ekstrem, dan peningkatan suhu.

Menyadari urgensi tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menunjukkan komitmennya dalam menghadapi perubahan iklim melalui berbagai kebijakan dan program. Salah satunya adalah dengan menyusun Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) yang dipayungi oleh Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2021.

RPRKD, upaya DKI Jakarta untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 30% pada tahun 2030 dan menuju net zero emission pada tahun 2050. Inventarisasi GRK menjadi langkah awal dalam penyusunan RPRKD, karena data yang akurat akan menjadi dasar perencanaan program dan aksi mitigasi perubahan iklim.

Inventarisasi GRK: Dasar RPRKD DKI Jakarta

Inventarisasi GRK merupakan proses pengumpulan data dan informasi mengenai sumber emisi GRK di suatu wilayah. Data ini mencakup berbagai sektor, seperti energi, transportasi, industri, limbah, pertanian, dan kehutanan.

Di DKI Jakarta, inventarisasi GRK dilakukan secara berkala untuk memantau perkembangan emisi GRK dan mengevaluasi efektivitas program mitigasi yang telah dijalankan. Data inventarisasi GRK juga digunakan sebagai dasar dalam penyusunan RPRKD, sehingga program dan aksi mitigasi yang direncanakan dapat tepat sasaran dan efektif dalam menurunkan emisi GRK.

Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2021: Payung Hukum RPRKD

RPRKD merupakan langkah strategis DKI Jakarta dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Dipayungi oleh Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2021, RPRKD mengintegrasikan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke dalam berbagai sektor pembangunan.

Komitmen DKI Jakarta dalam menangani perubahan iklim telah dimulai sejak tahun 2007 dengan bergabung dalam C40, jaringan kota-kota dunia yang berkomitmen dalam aksi mitigasi perubahan iklim. Pada tahun 2009, dalam COP 15, Jakarta menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 30% pada tahun 2030 dan menuju net zero emission pada tahun 2050.

RPRKD DKI Jakarta tidak hanya berfokus pada mitigasi, tetapi juga adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini tercermin dalam program-program yang direncanakan, seperti pengembangan ruang terbuka hijau (RTH), peningkatan sistem drainase, dan pembangunan infrastruktur tahan bencana.

Implementasi RPRKD: Kolaborasi Multi-Sektor

Implementasi RPRKD melibatkan kolaborasi multi-sektor, baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membentuk Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Bencana Iklim (MABI) yang bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program dan aksi mitigasi serta adaptasi perubahan iklim.

Tim MABI terdiri dari berbagai unsur, seperti pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat. Kolaborasi multi-sektor ini diharapkan dapat memperkuat sinergi dan efektivitas dalam implementasi RPRKD DKI Jakarta.

Penanaman Mangrove: Salah Satu Aksi Nyata Mitigasi Perubahan Iklim

RPRKD DKI Jakarta

Salah satu aksi nyata mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah penanaman mangrove. Mangrove memiliki peran penting dalam menyerap dan menyimpan karbon, sehingga dapat membantu mengurangi emisi GRK.

Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi, habitat bagi berbagai biota laut, dan sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir. Upaya penanaman dan pelestarian mangrove menjadi bagian integral dari RPRKD DKI Jakarta.

Monitoring dan Evaluasi: Menjamin Efektivitas RPRKD DKI Jakarta

Agar implementasi RPRKD berjalan efektif dan mencapai tujuannya, pemantauan dan evaluasi berkala harus dilakukan. Ibarat sebuah perjalanan, kita perlu mengetahui sudah sejauh mana kita melangkah dan apakah kita berada di jalur yang benar. Dalam konteks RPRKD, penurunan emisi GRK menjadi indikator utama keberhasilan. Seberapa jauh upaya kita dalam mengurangi jejak karbon di Jakarta?

Selain itu, peningkatan luas ruang terbuka hijau (RTH) juga menjadi tolok ukur yang penting. RTH tidak hanya mempercantik kota, tetapi juga berperan sebagai paru-paru kota yang menyegarkan udara dan menyerap polusi.

Tak kalah penting, peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap dampak perubahan iklim juga perlu dievaluasi. Masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan untuk menghadapi berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, mulai dari banjir rob, cuaca ekstrem, hingga kenaikan permukaan air laut.

Hasil pemantauan dan evaluasi ini nantinya akan menjadi cermin bagi kita semua, memberikan gambaran yang jelas tentang kemajuan yang telah dicapai dan tantangan yang masih ada. Dengan demikian, RPRKD dan program-program turunannya dapat terus disempurnakan, disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat Jakarta dalam menghadapi perubahan iklim.

Pelestarian Mangrove untuk Benteng Kota Pesisir

Indonesia, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, memiliki hutan mangrove terluas yang menjadi aset berharga, pelestarian mangrove sebagai benteng kota pesisir menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Indonesia memiliki luas total ekosistem mangrove mencapai sekitar 3,36 juta hektar atau setara dengan sekitar 20-25% dari total luas hutan mangrove dunia.

Pelestarian Mangrove untuk Benteng Kota Pesisir

 

Dua kota metropolitan di Indonesia, Jakarta dan Surabaya, yang berada di kawasan pesisir, rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, abrasi, dan banjir rob. Hutan mangrove dianggap sebagai solusi alami yang efektif dalam mengatasi berbagai ancaman tersebut. Jakarta yang dikenal kota metropolitan terbesar di Indonesia, harus terus berbenah dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Untuk itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mencanangkan berbagai program dan kebijakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim, salah satunya melalui penanaman mangrove.

Mengapa Pelestarian Mangrove Penting?

Hutan mangrove memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir. Akar-akar mangrove yang kuat dan lebat berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi daratan dari gempuran ombak, mencegah abrasi, serta mengurangi risiko bencana alam seperti tsunami. Tak hanya itu, mangrove juga berperan penting dalam menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar, jauh lebih efektif dibandingkan hutan darat. Kemampuan ini sangat krusial dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan memerangi pemanasan global. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyaring alami yang efektif, menjaga kualitas air laut dengan menyaring berbagai polutan dan sedimen. Lingkungan yang sehat ini kemudian menjadi habitat yang ideal bagi beragam flora dan fauna, mendukung keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem pesisir.

Upaya Pelestarian Mangrove Komitmen DKI Jakarta dalam Pencapaian Net Zero Emission

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam mengatasi perubahan iklim dan mencapai target Net Zero Emission melalui berbagai kebijakan dan program. Jakarta telah bergabung dalam C40 City Network, sebuah jaringan kota-kota di dunia yang berkomitmen dalam aksi mitigasi perubahan iklim. Target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 30% pada tahun 2030 dan Net Zero Emission pada tahun 2050 juga telah ditetapkan.

Salah satu wujud nyata dari komitmen ini adalah penerbitan Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah yang Berketahanan Iklim (RPRKD), yang menjadi payung hukum bagi program penanaman mangrove. Berdasarkan data dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta, total penanaman mangrove di Jakarta selama periode 2009-2023 mencapai 953.846 pohon.

Data dan Capaian Penanaman Mangrove

Berdasarkan data dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta, total penanaman mangrove di Jakarta selama periode 2009-2023 adalah sebagai berikut:

Tahun Jumlah Pohon (estimasi)
2009-2019 661.943
2020 102.027
2021 104.752
2022 69.400
2023 15.724
Total 953.846

Tabel 1. Rekapitulasi Penanaman Mangrove di Jakarta (2009-2023)

Kebun Raya Mangrove Surabaya

Surabaya tidak kalah aktif dalam upaya pelestarian dan pengembangan hutan mangrove. Salah satu proyek ambisius yang dilakukan adalah pembangunan Kebun Raya Mangrove Surabaya, yang merupakan kebun raya mangrove pertama di Indonesia. Berdiri di atas lahan kritis seluas 3 hektare, kebun raya ini ditanami Rhizophora spp (Bakau) dengan kepadatan minimal 10.000 bibit per hektare. Kebun Raya Mangrove Surabaya diproyeksikan memiliki potensi serapan emisi karbon yang sangat besar, mencapai 950,5 MgC/ha atau 2.851,5 MgC untuk total luas lahan. Selain itu, Surabaya juga telah mengembangkan ekowisata mangrove di Wonorejo dan Gunung Anyar, yang tidak hanya menawarkan keindahan alam dan wahana edukasi, tetapi juga memberdayakan masyarakat setempat dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian hutan mangrove.

RPRKD sebagai Payung Hukum Pelestarian Mangrove

RPRKD menjadi payung hukum bagi berbagai program dan kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi emisi GRK dan meningkatkan ketahanan iklim di Jakarta. Salah satu aksi adaptasi perubahan iklim yang tercantum dalam RPRKD adalah penanaman mangrove.

Strategi dan Teknik Penanaman Mangrove

Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta bersama dengan berbagai stakeholders telah melaksanakan penanaman mangrove dengan menggunakan berbagai teknik, antara lain:
Teknik Guludan: Diterapkan pada lahan yang digenangi air dalam (di atas 1 meter). Teknik ini menciptakan hutan mangrove yang lebih tinggi dan berfungsi sebagai penghalang alami terhadap gelombang pasang, abrasi pantai, dan perubahan iklim.
Teknik Rumpun Berjarak: Diterapkan di pesisir pulau-pulau kecil untuk perlindungan terhadap erosi pantai dan memberikan mikro lingkungan yang lebih lembap untuk pertumbuhan mangrove.

Evaluasi dan Monitoring Mangrove

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyadari pentingnya pengawasan ketat terhadap program penanaman dan pelestarian mangrove. Untuk itu, monitoring dan evaluasi dilakukan secara berkala untuk memastikan program berjalan sesuai dengan tujuan awal. Evaluasi ini mencakup berbagai aspek penting, seperti tingkat kelangsungan hidup pohon mangrove, pertumbuhannya, dan dampak positif penanaman terhadap ekosistem pesisir. Data-data yang dikumpulkan memberikan gambaran mengenai efektivitas program dan menjadi dasar pengambilan keputusan untuk perbaikan di masa mendatang.

Meskipun program penanaman mangrove di Jakarta telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, beberapa tantangan masih perlu diatasi. Keterbatasan lahan yang sesuai untuk penanaman mangrove menjadi kendala utama. Pencemaran air laut dan kerusakan ekosistem pesisir juga masih menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan program ini. Di samping itu, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peran mangrove dalam menjaga keseimbangan lingkungan menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pelestarian.

Kesadaran dan Pelestarian Mangrove

Keterbatasan lahan yang sesuai untuk penanaman mangrove menjadi salah satu kendala utama. Pencemaran lingkungan, terutama pencemaran air laut dan sampah, juga menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan mangrove. Selain itu, kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat akan pentingnya peran mangrove dalam menjaga keseimbangan lingkungan juga menjadi tantangan tersendiri. Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, diperlukan upaya yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk penanaman mangrove perlu dilakukan secara cermat dan terencana. Upaya pengendalian pencemaran dan rehabilitasi ekosistem pesisir harus terus ditingkatkan agar mangrove dapat tumbuh secara optimal. Edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat juga sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi aktif dalam pelestarian mangrove. Penguatan penegakan hukum terkait perlindungan hutan mangrove harus dilakukan secara tegas untuk mencegah kerusakan dan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.

Melalui komitmen yang kuat, strategi yang tepat, dan kolaborasi dengan berbagai pihak, diharapkan Jakarta dapat menjadi kota yang lebih hijau, berkelanjutan, dan tahan terhadap perubahan iklim. Penanaman dan pelestarian mangrove merupakan investasi jangka panjang yang akan memberikan manfaat besar bagi generasi mendatang.

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) di Kawasan Pesisir: Optimis Raih Net Zero Emission (NZE)

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) di Kawasan Pesisir: Optimis Raih Net Zero Emission (NZE)

Kawasan pesisir Indonesia, memegang peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global. Mangrove dan terumbu karang, yang dikenal sebagai blue carbon, merupakan penyerap karbon alami yang signifikan dalam upaya mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Namun, degradasi lingkungan pesisir menjadi tantangan serius yang menuntut perhatian dan aksi nyata. Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 3,3 juta hektar mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak, sementara 65% terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi kurang sehat.

Kondisi ini menegaskan urgensi pengelolaan pesisir terintegrasi yang memperhatikan baik aspek perlindungan lingkungan maupun pemanfaatan ekonomi secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi instrumen penting untuk mengukur dan memantau emisi GRK dari berbagai aktivitas di wilayah pesisir, serta mengevaluasi efektivitas upaya mitigasi yang dilakukan.

Dinamika Ekosistem Pesisir Indonesia: Kerusakan dan Upaya Pemulihan

Kondisi mangrove di Indonesia menunjukkan variasi yang signifikan. Beberapa wilayah seperti Papua, sebagian Kalimantan, dan Sulawesi masih memiliki kepadatan mangrove yang relatif baik. Namun, di Pulau Jawa, pesisir Selatan Sumatera, Nusa Tenggara, dan Bali, degradasi mangrove telah terjadi secara masif. Kerusakan mangrove dan terumbu karang tidak hanya meningkatkan kerentanan terhadap bencana alam, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan emisi GRK. Ketika ekosistem pesisir rusak, karbon yang tersimpan di dalamnya akan dilepaskan ke atmosfer, sehingga mengurangi kapasitas penyerapan karbon dan menambah beban emisi GRK.

Ibarat “kalkulator karbon”, inventarisasi GRK memungkinkan kita untuk mengukur emisi GRK dari berbagai aktivitas di kawasan pesisir, memantau perubahannya dari waktu ke waktu, dan mengevaluasi efektivitas upaya mitigasi.

Kerusakan ekosistem pesisir di Indonesia dipicu oleh alih fungsi lahan mangrove untuk tambak, pemukiman, dan infrastruktur. Pencemaran limbah industri, pertanian, dan rumah tangga juga merusak terumbu karang dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan bom ikan dan pukat harimau, turut memperparah kondisi ini. Perubahan iklim dengan peningkatan suhu air laut, pengasaman laut, dan kenaikan permukaan air laut juga mengancam kesehatan dan kelangsungan hidup ekosistem pesisir.

Aktivitas tersebut berpotensi menjadi sumber emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di kawasan pesisir. Deforestasi dan konversi mangrove menjadi tambak atau pemukiman melepaskan karbon yang tersimpan di dalamnya. Kerusakan terumbu karang akibat penangkapan ikan yang merusak, pencemaran, dan perubahan iklim juga mengurangi kemampuannya dalam menyerap karbon. Transportasi laut, khususnya kapal dan perahu yang menggunakan bahan bakar fosil, turut menghasilkan emisi GRK. Aktivitas industri di kawasan pesisir, seperti pengolahan hasil laut, dan konsumsi energi di pemukiman juga berkontribusi pada emisi GRK. Selain itu, pengolahan limbah yang tidak memadai di kawasan pesisir dapat menghasilkan emisi metana, gas rumah kaca yang lebih kuat dari karbon dioksida.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan pengelolaan pesisir terintegrasi sebagai prioritas nasional. Pendekatan ini menekankan keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan pemanfaatan ekonomi pesisir berkelanjutan. Potensi ekonomi pesisir yang besar dalam sektor perikanan, pariwisata, dan industri maritim harus dikelola secara bijak untuk memastikan kelestarian ekosistem dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Strategi dan Inovasi dalam Pengelolaan Pesisir

Dalam upaya pengelolaan pesisir terintegrasi, pemerintah telah mengambil beberapa langkah serius. Salah satunya adalah pengembangan aplikasi AKSARA (Aplikasi Kebijakan dan Strategi Respons Adaptasi) oleh Bappenas. Aplikasi ini memudahkan pemantauan dan evaluasi kebijakan terkait pengelolaan lingkungan dan penurunan emisi GRK. Selain itu, program pemulihan kawasan pesisir dengan pendekatan building with nature atau nature-based solutions telah diimplementasikan di berbagai lokasi. Program ini tidak hanya berfokus pada aspek teknis pemulihan ekosistem, tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan pemberdayaan masyarakat pesisir.

Sponge City di Ibu Kota Nusantara (IKN)

Penerapan konsep Sponge City di beberapa kota di Indonesia, termasuk di Ibu Kota Nusantara (IKN), menjadi solusi inovatif untuk mengatasi permasalahan air perkotaan, seperti banjir, kekeringan, dan pencemaran air. Sponge City mengintegrasikan infrastruktur hijau dan infrastruktur abu-abu untuk meningkatkan daya resap air, mengurangi limpasan permukaan, dan meningkatkan kualitas air. Ibu Kota Nusantara (IKN) dirancang sebagai model kota berkelanjutan dengan menerapkan berbagai kebijakan pro-lingkungan, seperti konsep Forest City, Zero Delta Q Policy, dan Sponge City yang terintegrasi dengan desain kota. Ibu Kota Nusantara (IKN) diharapkan menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Selain upaya-upaya tersebut, perlu dilakukan penguatan penegakan hukum dan pengawasan terhadap perusakan lingkungan pesisir. Peningkatan kesadaran masyarakat melalui edukasi dan kampanye mengenai pentingnya menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan dampak perubahan iklim juga menjadi fokus.

Pengembangan ekonomi berkelanjutan di kawasan pesisir, seperti ekowisata dan budidaya perikanan berkelanjutan, perlu didorong untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir tanpa merusak lingkungan.

Kerjasama multi-pihak yang melibatkan pemerintah, masyarakat, swasta, dan LSM sangat penting dalam mewujudkan pengelolaan pesisir terintegrasi yang efektif. Dengan kolaborasi dan komitmen bersama, Indonesia dapat menjaga kelestarian ekosistem pesisirnya, memanfaatkan potensi ekonomi secara berkelanjutan, dan berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim global.

 

RPJPN 2025-2045: Mendorong Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir dan Maritim

RPJPN 2025-2045: Mendorong Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir dan Maritim

Dalam dua artikel sebelumnya, kami telah membahas ancaman perubahan iklim dan kenaikan muka air laut yang kian nyata di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan menjadi fokus pemerintah, dalam menyikapi tantangan tersebut pemerintah Indonesia menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

RPJPN 2025-2045 mengusung tema “Indonesia Emas 2045” dengan visi “Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan”. Tema ini menempatkan isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu pilar utama pembangunan Indonesia di masa depan. Konsep “Nusantara Berdaulat” mencakup aspek ketangguhan wilayah dan ketahanan nasional, termasuk dalam menghadapi bencana dan dampak perubahan iklim. “Negara Maju” diwujudkan melalui pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, di mana sektor kemaritiman memiliki peran strategis. Sedangkan “Berkelanjutan” menekankan pada keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Dalam RPJPN 2025-2045, pembangunan dan keberlanjutan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Pembangunan yang tidak berkelanjutan tidak lagi relevan di era saat ini. Kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam kian meningkat, baik di tingkat nasional maupun global.

Misi Ketahanan Sosial, Budaya, dan Ekologi

Salah satu misi dalam RPJPN 2025-2045 adalah “Mewujudkan Ketahanan Sosial, Budaya, dan Ekologi”. Misi ini mencakup upaya untuk meningkatkan ketahanan energi, air, dan kemandirian pangan, serta meningkatkan resiliensi terhadap bencana dan perubahan iklim. Arah pembangunan ini akan menjadi landasan bagi Indonesia dalam melaksanakan pembangunan di 20 tahun ke depan hingga tahun 2045.

Strategi Pembangunan Berkelanjutan di Sektor AFOLU

Sektor Agriculture, Forestry, and Other Land Use (AFOLU) memiliki peran penting dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. RPJPN 2025-2045 menekankan pentingnya integrasi antara ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan livelihood, serta ketahanan ekosistem dan landscape dalam pembangunan sektor AFOLU.

Konsep Nationally Determined Contribution (NDC) juga diintegrasikan dalam strategi pembangunan sektor AFOLU. Beberapa fokus utama dalam NDC di bidang pertanian dan kehutanan antara lain adalah pengelolaan lahan berkelanjutan, konservasi hutan, dan peningkatan produktivitas pertanian dengan emisi karbon yang lebih rendah.

Modernisasi Pertanian dan Irigasi untuk Efisiensi Air

Di sektor pertanian, pemerintah mendorong modernisasi sistem pertanian dan irigasi guna meningkatkan efisiensi penggunaan air dan mengurangi emisi karbon. Modernisasi irigasi menjadi salah satu prioritas untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya air yang kian terbatas. Efisiensi irigasi juga bertujuan untuk mendukung ketersediaan air bagi sektor lain, seperti perkotaan dan industri.

Climate Smart Agriculture: Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Pertanian

Penerapan Climate Smart Agriculture (CSA) menjadi salah satu strategi utama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor pertanian. CSA mencakup berbagai praktik dan teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Beberapa contoh penerapan CSA antara lain adalah penggunaan varietas tanaman yang tahan kekeringan, pengelolaan tanah dan air yang berkelanjutan, serta penerapan sistem irigasi yang efisien. CSA juga menekankan pentingnya pemberdayaan petani dan peningkatan akses terhadap informasi dan teknologi pertanian.

Pemanfaatan Teknologi dan Inovasi untuk Pembangunan Berkelanjutan

Pemanfaatan teknologi dan inovasi menjadi kunci dalam mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Teknologi digital, bioteknologi, dan nanoteknologi dapat diaplikasikan di berbagai sektor untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan.

Di sektor pertanian, teknologi dapat dimanfaatkan untuk pengembangan varietas tanaman unggul, sistem informasi pasar, dan pemantauan kondisi lahan secara real-time. Di sektor energi, teknologi dapat mendukung pengembangan energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi.

Kolaborasi Multi-Pihak untuk Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan memerlukan kolaborasi dan sinergi antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, swasta, masyarakat, dan akademisi. Kemitraan multi-pihak diperlukan untuk menciptakan inovasi, menggerakkan investasi, dan meningkatkan kapasitas dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Pemerintah berperan dalam menyusun kebijakan dan regulasi yang mendukung pembangunan berkelanjutan, serta menyediakan insentif dan fasilitas bagi para pelaku usaha. Swasta berperan dalam menggerakkan investasi dan inovasi di berbagai sektor. Masyarakat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Sedangkan akademisi berperan dalam melakukan penelitian dan pengembangan, serta menyediakan data dan informasi yang akurat untuk mendukung pengambilan kebijakan.

RPJPN 2025-2045 merupakan langkah strategis Indonesia dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan mencapai visi “Indonesia Emas 2045”. Dengan komitmen dan aksi nyata dari seluruh elemen bangsa, Indonesia dapat menghadapi tantangan perubahan iklim dan menjamin masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

5 Strategi Mitigasi dan Adaptasi Kenaikan Muka Air Laut di Indonesia

Mitigasi dan adaptasi yang telah kita bahas pada artikel sebelumnya terkait dengan peningkatan cuaca ekstrem dan krisis air. Kini, mari kita telaah lebih dalam mengenai salah satu dampak perubahan iklim yang paling mengancam bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu kenaikan muka air laut.

Proyeksi kenaikan muka air laut hingga tahun 2100 menunjukkan angka yang cukup mengkhawatirkan. Meskipun secara nasional kenaikannya diprediksi berada pada level moderat, namun potensi kenaikan hingga 1-5 meter akan berdampak signifikan bagi Indonesia. Studi terbaru dari Climate Central memprediksi bahwa sebagian besar wilayah pesisir di Indonesia akan terkena dampak kenaikan muka air laut, termasuk kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang.

Aksi Nyata Mitigasi dan Adaptasi Kenaikan Muka Air Laut
Kenaikan Muka Air Laut

Dampaknya? Bukan hanya pemukiman dan infrastruktur terancam, risiko banjir rob, abrasi, dan intrusi air laut juga meningkat. Aktivitas ekonomi seperti perikanan dan pariwisata terganggu. Lebih dari itu, kenaikan muka air laut dapat mengurangi luas wilayah Indonesia dan mengancam kedaulatan negara.

Komitmen Indonesia dalam Paris Agreement

Menyadari urgensi permasalahan perubahan iklim, Indonesia telah aktif berpartisipasi dalam forum internasional, termasuk Conference of the Parties (COP) yang telah digagas sejak tahun 1992. Dalam Paris Agreement yang disepakati pada tahun 2015, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui Nationally Determined Contribution (NDC). NDC merupakan dokumen yang berisi target dan rencana aksi setiap negara dalam mengurangi emisi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.

Indonesia telah menyampaikan NDC pertamanya pada tahun 2016 dan memperbaruinya pada tahun 2022. Target Indonesia dalam NDC terbaru adalah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut, Indonesia telah menyusun berbagai kebijakan dan program di berbagai sektor, seperti energi, kehutanan, dan pertanian.

RPJMN 2020-2024: Lingkungan Hidup Berkelanjutan dan Ketahanan Bencana

Isu lingkungan hidup berkelanjutan dan ketahanan bencana menjadi salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Tujuh agenda pembangunan dalam RPJMN mencakup isu lingkungan hidup, ketahanan bencana, dan perubahan iklim. Penurunan emisi gas rumah kaca merupakan salah satu sasaran makro yang menjadi program prioritas pemerintah.

Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan untuk mencapai target dalam RPJMN, termasuk penerapan kebijakan baru, rehabilitasi dan pemulihan lingkungan, serta peningkatan kapasitas masyarakat. Namun, pencapaian target tersebut masih mengalami berbagai tantangan, terutama dalam hal rehabilitasi lingkungan dan pengendalian emisi gas rumah kaca.

Aksi Nyata Mitigasi dan Adaptasi Kenaikan Muka Air Laut

Untuk mencegah tenggelamnya Nusantara akibat kenaikan muka air laut, diperlukan aksi nyata mitigasi dan adaptasi yang terpadu dan berkelanjutan. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:

Mitigasi: Mengurangi emisi gas rumah kaca melalui transisi energi ke sumber energi terbarukan, pengendalian deforestasi, dan penerapan teknologi ramah lingkungan.

Adaptasi: Membangun infrastruktur pesisir yang tahan terhadap kenaikan muka air laut, seperti tanggul laut, polder, dan bangunan tahan banjir. Melakukan relokasi pemukiman di wilayah rawan bencana dan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana pesisir.

Konservasi dan Rehabilitasi: Melakukan konservasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun, untuk melindungi garis pantai dari abrasi dan meningkatkan ketahanan pesisir terhadap kenaikan muka air laut.

Penelitian dan Pengembangan: Meningkatkan penelitian dan pengembangan terkait dengan dampak perubahan iklim dan teknologi adaptasi kenaikan muka air laut.

Kerjasama Internasional: Memperkuat kerjasama internasional dalam hal mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, termasuk dalam hal transfer teknologi dan pendanaan.

Menuju Indonesia Tangguh Hadapi Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan tantangan global yang memerlukan aksi nyata dari seluruh negara. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, harus terus meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi guna mewujudkan ketahanan nasional dan menjamin masa depan yang berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, masyarakat, dan akademisi sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan membangun Indonesia yang lebih tangguh.

PT ACTIA BERSAMA SEJAHTERA

Office 1 – Lantai 18, Office 8 – Senopati Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Office 2 – Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

 

Hubungi Kami

PT Actia Bersama Sejahtera – Support oleh Dokter Website