Jasa Penyusunan Climate-Related Disclosures Berdasar SASB Standards Sektor Industri Agrokimia

Jasa Penyusunan Climate-Related Disclosures Berdasar SASB Standards Sektor Industri Agrokimia

Perubahan iklim menjadi isu yang semakin mendesak di seluruh dunia, mempengaruhi berbagai sektor industri, termasuk agrokimia. Dalam konteks ini, penyusunan climate-related disclosures berdasar SASB Standards untuk sektor industri agrokimia menjadi sangat penting. Tujuan utama dari penyusunan pengungkapan ini adalah untuk memberikan transparansi kepada pemangku kepentingan mengenai risiko dan peluang yang terkait dengan perubahan iklim, serta untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan dapat digunakan dalam pengambilan keputusan investasi.

Tujuan Penyusunan Climate-Related Disclosures Berdasarkan SASB Standards

Climate-Related Disclosures berdasarkan SASB Standards merujuk pada pengungkapan informasi yang berkaitan dengan risiko dan peluang yang dihadapi perusahaan akibat perubahan iklim, yang diatur oleh Sustainability Accounting Standards Board (SASB). Pengungkapan ini bertujuan untuk memberikan informasi yang relevan bagi investor mengenai bagaimana perusahaan mengelola dampak perubahan iklim terhadap operasi dan kinerja keuangan mereka. Dengan mengikuti SASB Standards, perusahaan di sektor agrokimia dapat menunjukkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan. Hal ini juga membantu investor memahami potensi risiko yang mungkin timbul akibat perubahan iklim, sekaligus memberikan gambaran mengenai strategi mitigasi yang diterapkan oleh perusahaan.

Emisi Karbon dalam Sektor Agrokimia

Sektor industri agrokimia berkontribusi pada emisi karbon melalui berbagai proses, mulai dari produksi bahan kimia pertanian hingga penggunaan produk tersebut di lapangan. Proses produksi pupuk dan pestisida sering kali melibatkan penggunaan energi fosil, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Selain itu, penggunaan pupuk nitrogen dapat menyebabkan emisi nitrous oxide, gas rumah kaca yang memiliki potensi pemanasan global jauh lebih tinggi dibandingkan dengan karbon dioksida. Produk-produk agrokimia seperti pupuk nitrogen, herbisida untuk mengendalikan gulma, dan insektisida untuk menangkal hama, semuanya memiliki jejak karbon yang perlu diperhatikan dalam konteks perubahan iklim global.

Dampak Lingkungan dan Iklim

Industri agrokimia memiliki dampak yang cukup serius terhadap lingkungan dan iklim. Penggunaan bahan kimia pertanian dapat mencemari tanah dan air, serta mengurangi keanekaragaman hayati. Selain itu, praktik pertanian intensif yang bergantung pada pupuk kimia dapat mengarah pada degradasi tanah dan penurunan kualitas tanah dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan di sektor ini untuk melakukan pengungkapan terkait dampak lingkungan mereka agar dapat diidentifikasi dan dikelola dengan baik.

Perusahaan di Sektor Industri Agrokimia

Berikut adalah 10 perusahaan terkemuka yang bergerak di sektor industri agrokimia:

  1. PT Agrokimia Asia
  2. PT Asiana Chemicalindo Lestari
  3. PT Mestika Nusantara AgroKimia
  4. PT Petrosida Gresik
  5. PT Satya Agrindo Perkasa
  6. PT Propadu Konair Tahubun (PKT)
  7. PT Kurnia Agro Lestari
  8. PT ATS Inti Sampoerna
  9. PT Syngenta Indonesia
  10. PT Multikimia Agro Sejahtera

Kebutuhan Penyusunan Climate-Related Disclosures Berdasar SASB Standards

Climate-related disclosures berdasar SASB Standards dapat membantu perusahaan mengidentifikasi isu material yang berkaitan dengan perubahan iklim. Dengan menggunakan kerangka kerja SASB, perusahaan dapat mengungkapkan informasi tentang risiko fisik (seperti cuaca ekstrem) dan risiko transisi (seperti pergeseran kebijakan menuju keberlanjutan) yang mungkin memengaruhi operasi mereka. Ini juga mencakup strategi mitigasi yang diterapkan untuk mengurangi emisi karbon dan dampak lingkungan lainnya.

Untuk menyusun climate-related disclosures berdasarkan SASB Standards, elemen-elemen kunci yang perlu diperhatikan meliputi data emisi gas rumah kaca yang akurat, informasi rinci tentang praktik keberlanjutan perusahaan, serta analisis risiko yang menyeluruh terkait perubahan iklim. Selain itu, kebijakan internal perusahaan mengenai keberlanjutan yang jelas dan partisipasi aktif para pemangku kepentingan dalam proses pengungkapan juga sangat penting untuk memastikan kualitas dan relevansi informasi yang disampaikan. Dengan memenuhi semua persyaratan ini, perusahaan dapat menyusun laporan yang transparan dan dapat diandalkan, sehingga meningkatkan kepercayaan investor dan pemangku kepentingan lainnya.

Actia Membantu Penyusunan Climate-Related Disclosures Berdasar SASB Standards

Actia memiliki pengalaman dan keahlian dalam membantu perusahaan menyusun climate-related disclosures berdasarkan SASB Standards untuk sektor industri agrokimia. Kami menawarkan layanan konsultasi lengkap mulai dari identifikasi isu material hingga penyusunan laporan yang disesuuaikan dengan kebutuhan perusahaan Anda. Klik untuk konsultasi sekarang!

Dengan demikian, penyusunan climate-related disclosures bukan hanya memenuhi peraturan yang berlaku, tetapi juga menjadi langkah cermat bagi perusahaan dalam mengelola risiko dan peluang terkait perubahan iklim secara efektif.

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) di Sektor AFOLU Perkotaan

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) di Sektor AFOLU Perkotaan

Menghadapi tantangan perubahan iklim menuntut upaya mitigasi yang terukur dan tepat sasaran. Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) menjadi fondasi penting untuk mengidentifikasi sumber emisi dan merumuskan strategi pengurangan emisi yang efektif. Sektor AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use) memegang peran krusial dalam siklus karbon, termasuk di wilayah perkotaan yang dinamis. Perkotaan, dengan karakteristik uniknya seperti fragmentasi lahan dan dominasi pemukiman, mengharuskan pendekatan khusus dalam implementasi IGRK. Artikel ini akan menelaah alternatif metode IGRK mikrosektor AFOLU di perkotaan dengan fokus pada pendekatan sektor kehutanan, khususnya studi kasus hutan kota di DKI Jakarta.

Karakteristik Unik Tutupan Lahan di Perkotaan dan Tantangan IGRK

Ekosistem perkotaan menampilkan beragam tutupan lahan, mulai dari hutan kota, pekarangan, pemukiman, lahan pertanian, hingga ruang terbuka hijau lainnya. Keragaman ini mencerminkan interaksi kompleks antara aktivitas manusia dan lingkungan. Berdasarkan IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, tutupan lahan di perkotaan diklasifikasikan menjadi beberapa kategori. Hutan kota, taman dengan pohon besar, dan area hijau lainnya yang memenuhi kriteria luasan minimum 0,25 hektar, lebar tajuk minimal 75 meter, dan tutupan tajuk lebih dari 30% termasuk dalam kategori forest land.

Lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pertanian, perkebunan, atau buah-buahan, baik monokultur maupun multistrata, seperti pekarangan rumah yang ditanami sayuran atau buah-buahan, tergolong dalam kategori crop land. Lahan terbuka yang didominasi rumput dan semak belukar, seperti lapangan olahraga dan taman kota dengan vegetasi rendah, dikategorikan sebagai grassland. Area pemukiman yang didominasi bangunan dan infrastruktur, seperti perumahan dan gedung perkantoran, masuk dalam kategori settlement. Sementara itu, lahan basah seperti rawa dan danau, termasuk dalam kategori wet land. Lahan yang tidak termasuk dalam kategori-kategori tersebut, seperti lahan kosong dan area industri, diklasifikasikan sebagai other lands.

Hutan kota di perkotaan, yang umumnya merupakan man-made forest, seringkali tersebar dalam bentuk poligon-poligon kecil dengan komposisi jenis pohon yang bervariasi. Kondisi ini menimbulkan tantangan dalam IGRK, seperti tingginya variabilitas tutupan lahan, skala yang kecil dan tersebar, serta keterbatasan akses ke beberapa area.

Peluang Pemanfaatan Teknologi dalam IGRK Perkotaan

Perkembangan teknologi informasi dan penginderaan jauh membuka peluang untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi IGRK di perkotaan. Citra satelit resolusi tinggi, seperti WorldView dan Pleiades, memungkinkan identifikasi dan delineasi tutupan lahan secara detail, bahkan hingga tingkat individu pohon. Drone yang dilengkapi dengan sensor seperti kamera RGB, multispektral, dan LiDAR dapat digunakan untuk pemantauan dan pengukuran biomassa pada skala kecil dengan cepat dan efisien.

Data LiDAR sangat bermanfaat untuk menghasilkan model 3D vegetasi dan mengestimasi biomassa secara akurat. Sistem Informasi Geografis (SIG) memudahkan analisis spasial, integrasi data dari berbagai sumber, dan visualisasi informasi inventarisassi gas rumah kaca (IGRK) secara komprehensif. SIG juga memungkinkan pemodelan dan simulasi untuk memprediksi perubahan tutupan lahan dan emisi GRK di masa depan. Selain itu, platform online dan mobile dapat dimanfaatkan untuk pengumpulan data lapangan, validasi data, dan diseminasi informasi inventarisassi gas rumah kaca (IGRK)kepada publik, sehingga mendorong partisipasi publik dalam IGRK melalui citizen science.

Metodologi IGRK yang Adaptif untuk Perkotaan

Implementasi Inventarisassi Gas Rumah Kaca (IGRK) di perkotaan membutuhkan pendekatan adaptif dan inovatif. Pemetaan dan pemantauan tutupan lahan yang akurat dapat dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit resolusi tinggi, drone, dan data LiDAR, yang kemudian divalidasi melalui pengumpulan data lapangan. Stratifikasi tutupan lahan perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika karbon, seperti jenis vegetasi, kerapatan vegetasi, umur tegakan, dan kondisi lingkungan. Data dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota, Dinas Tata Ruang, dan sumber lainnya dapat digunakan untuk melengkapi informasi stratifikasi.

Pembuatan plot permanen di berbagai strata tutupan lahan memungkinkan pengukuran faktor emisi dan simpanan karbon secara berkala. SNI 7724:2011 direvisi menjadi 7724:2019 menyediakan panduan untuk pembuatan plot permanen dan pengukuran faktor emisi dengan sampling error maksimum 20%. Penggunaan allometric equation yang sesuai dengan jenis pohon dan kondisi lingkungan penting untuk menghasilkan estimasi biomassa yang akurat. Selain biomassa pohon, faktor emisi lainnya yang perlu diukur antara lain karbon organik tanah, emisi dari dekomposisi serasah, dan emisi dari penggunaan lahan non-hutan.

Emisi GRK dihitung dengan mengalikan data aktivitas, seperti perubahan luas tutupan lahan, dengan faktor emisi yang relevan. Di perkotaan, sumber emisi utama sektor AFOLU berasal dari perubahan penggunaan lahan non-hutan, seperti konversi lahan pertanian menjadi pemukiman. Pemantauan perubahan penggunaan lahan non-hutan perlu diintensifkan untuk mendapatkan estimasi emisi yang akurat. Pelaporan inventarisassi gas rumah kaca (IGRK) perlu mengikuti standar dan pedoman yang ditetapkan oleh KLHK dan IPCC.

Rumus perhitungan emisi GRK
Emisi = Data Aktivitas (ha) x Faktor emisi (tCO2/ha)

Mengoptimalkan IGRK Perkotaan

Untuk mengoptimalkan IGRK sektor AFOLU di perkotaan, diperlukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan sertifikasi, pengembangan sistem database IGRK yang terintegrasi, kerjasama antar pemangku kepentingan, pemanfaatan teknologi informasi, sosialisasi dan edukasi publik, serta penelitian dan pengembangan metode IGRK yang lebih akurat dan adaptif.

Pendekatan adaptif dan inovatif diperlukan untuk menghasilkan estimasi emisi GRK yang akurat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh, stratifikasi tutupan lahan yang representatif, dan pengukuran faktor emisi yang akurat merupakan langkah kunci dalam implementasi IGRK perkotaan. Studi kasus hutan kota DKI Jakarta menunjukkan bahwa inventarisassi gas rumah kaca (IGRK) dapat diterapkan secara efektif dengan memanfaatkan teknologi dan kerjasama antar pemangku kepentingan. Dengan menerapkan langkah-langkah strategis yang telah diuraikan, diharapkan IGRK sektor AFOLU di perkotaan dapat terus ditingkatkan untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim dan mewujudkan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.

 

Pelestarian Mangrove untuk Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD)

Pelestarian Mangrove untuk Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD)

Sejalan dengan tujuan Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD), DKI Jakarta dengan garis pantainya yang panjang, memiliki peran penting dalam pelestarian mangrove di Indonesia. Ekosistem mangrove di Jakarta berperan dalam penyerapan karbon dan melindungi garis pantai. Melalui pelestarian dan rehabilitasi mangrove, DKI Jakarta berupaya membangun kota yang tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

Tim MABI: Kolaborasi Multi-Sektor dalam RPRKD

Pada tahun 2023, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membentuk Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Bencana Iklim (MABI) melalui Keputusan Gubernur Nomor 209 Tahun 2023. Tim ini bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program dan aksi mitigasi serta adaptasi perubahan iklim di Jakarta.

Tim MABI terdiri dari dua pokja utama, yaitu pokja mitigasi perubahan iklim dan pokja adaptasi perubahan iklim. Kedua pokja ini didukung oleh tiga pokja lainnya, yaitu pokja komunikasi dan partisipasi masyarakat, pokja pendanaan dan kolaborasi, serta pokja riset dan inovasi.

Mangrove Jakarta dalam Konteks Global

Indonesia memiliki sekitar 20% dari total mangrove dunia, yaitu sekitar 3,36 juta hektar. Jakarta, sebagai bagian dari Indonesia, memiliki peran penting dalam pelestarian mangrove secara global.

RPRKD

Peta Mangrove Nasional 2023 menunjukkan bahwa mangrove tersebar di berbagai wilayah pesisir Indonesia, termasuk di Jakarta. Sebagian besar mangrove di Jakarta terdapat di bagian utara dan barat kota, meliputi Taman Wisata Alam, Hutan Induk Angke Kapuk, Suaka Margasatwa, dan jalur pengaman tol bandara.

Upaya Pemulihan Mangrove di Jakarta

Pelestarian mangrove di Jakarta menghadapi berbagai tantangan, seperti alih fungsi lahan akibat urbanisasi, degradasi akibat pencemaran sampah, dan ekspansi pemukiman. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya memulihkan dan meningkatkan luas hutan mangrove melalui penanaman dan rehabilitasi.

Teknik Penanaman Mangrove di Jakarta

Di Jakarta, penanaman mangrove dilakukan dengan dua teknik utama, yaitu teknik guludan oleh Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (DPHK) dan teknik rumpun berjarak oleh Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (DKPKP).

Teknik guludan adalah metode inovatif yang dirancang untuk menanam mangrove di lahan yang terendam air dalam, biasanya dengan kedalaman antara 1 hingga 2 meter. Metode ini melibatkan pembuatan struktur guludan dari cerucuk bambu yang diisi dengan tanah untuk menciptakan media tumbuh bagi bibit mangrove.

Sementara itu, teknik rumpun berjarak juga digunakan untuk penanaman mangrove namun dengan pendekatan yang berbeda. Metode ini menekankan pada penanaman bibit dalam kelompok atau rumpun pada jarak tertentu untuk memaksimalkan pertumbuhan dan kesehatan tanaman.

Kolaborasi dalam Penanaman Mangrove

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengapresiasi dan mendukung partisipasi berbagai pihak dalam penanaman mangrove. Kolaborasi dengan masyarakat dan berbagai stakeholder lainnya diharapkan dapat mempercepat upaya pelestarian mangrove di Jakarta.

RTRW 2042: Dukungan Kebijakan untuk Pelestarian Mangrove

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2042 mencantumkan beberapa arah kebijakan yang mendukung pelestarian mangrove, seperti perwujudan lingkungan kota yang berkelanjutan, peningkatan RTH dan badan air permukaan, serta perlindungan pesisir pulau-pulau.

Salah satu fokus utama RTRW DKI Jakarta adalah penciptaan lingkungan perkotaan yang lebih ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Peningkatan RTH menjadi salah satu langkah kunci dalam menciptakan ruang terbuka yang tidak hanya berfungsi sebagai paru-paru kota, tetapi juga sebagai habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna, termasuk mangrove. Dengan memperbanyak RTH, Jakarta diharapkan dapat mengurangi polusi udara dan meningkatkan kualitas hidup warganya.

Selain itu, RTRW juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap badan air permukaan. Dalam konteks ini, pengelolaan mangrove menjadi krusial karena hutan mangrove berfungsi sebagai penyangga alami yang melindungi pesisir dari abrasi dan intrusi air laut. Mangrove juga memiliki peran vital dalam menjaga kualitas air dengan menyaring polutan serta menyediakan habitat bagi berbagai organisme laut. Oleh karena itu, kebijakan RTRW yang mendukung pelestarian mangrove merupakan langkah strategis untuk menjaga keseimbangan ekosistem pesisir Jakarta.

Perlindungan terhadap pesisir pulau-pulau di Jakarta juga menjadi fokus penting dalam RTRW 2042. Upaya ini mencakup penguatan garis pantai untuk mencegah abrasi, serta pemantauan dan penegakan hukum terhadap aktivitas yang merusak ekosistem mangrove. Dengan demikian, diharapkan kawasan pesisir Jakarta dapat tetap lestari dan berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi daratan dari ancaman kenaikan permukaan air laut.

Penguatan Kapasitas dan Peran Masyarakat

Selain penanaman dan rehabilitasi, upaya pelestarian mangrove juga dilakukan melalui penguatan kapasitas masyarakat, penangkaran biota laut, serta kegiatan konservasi dan rehabilitasi yang berbasis masyarakat.

Pelestarian mangrove merupakan bagian integral dari RPRKD DKI Jakarta. Melalui kolaborasi multi-sektor dan pelibatan masyarakat, diharapkan upaya pelestarian mangrove di Jakarta dapat terus ditingkatkan, sehingga ekosistem mangrove dapat terus berperan dalam menjaga keberlanjutan pesisir dan mendukung tercapainya target RPRKD.

 

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan RPRKD DKI Jakarta

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan RPRKD DKI Jakarta

Perubahan iklim merupakan isu yang menuntut perhatian serius dari seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. DKI Jakarta, salah satu kota yang menjadi pusat aktivitas ekonomi menghadapi tantangan besar akibat dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, cuaca ekstrem, dan peningkatan suhu.

Menyadari urgensi tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menunjukkan komitmennya dalam menghadapi perubahan iklim melalui berbagai kebijakan dan program. Salah satunya adalah dengan menyusun Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) yang dipayungi oleh Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2021.

RPRKD, upaya DKI Jakarta untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 30% pada tahun 2030 dan menuju net zero emission pada tahun 2050. Inventarisasi GRK menjadi langkah awal dalam penyusunan RPRKD, karena data yang akurat akan menjadi dasar perencanaan program dan aksi mitigasi perubahan iklim.

Inventarisasi GRK: Dasar RPRKD DKI Jakarta

Inventarisasi GRK merupakan proses pengumpulan data dan informasi mengenai sumber emisi GRK di suatu wilayah. Data ini mencakup berbagai sektor, seperti energi, transportasi, industri, limbah, pertanian, dan kehutanan.

Di DKI Jakarta, inventarisasi GRK dilakukan secara berkala untuk memantau perkembangan emisi GRK dan mengevaluasi efektivitas program mitigasi yang telah dijalankan. Data inventarisasi GRK juga digunakan sebagai dasar dalam penyusunan RPRKD, sehingga program dan aksi mitigasi yang direncanakan dapat tepat sasaran dan efektif dalam menurunkan emisi GRK.

Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2021: Payung Hukum RPRKD

RPRKD merupakan langkah strategis DKI Jakarta dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Dipayungi oleh Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2021, RPRKD mengintegrasikan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke dalam berbagai sektor pembangunan.

Komitmen DKI Jakarta dalam menangani perubahan iklim telah dimulai sejak tahun 2007 dengan bergabung dalam C40, jaringan kota-kota dunia yang berkomitmen dalam aksi mitigasi perubahan iklim. Pada tahun 2009, dalam COP 15, Jakarta menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 30% pada tahun 2030 dan menuju net zero emission pada tahun 2050.

RPRKD DKI Jakarta tidak hanya berfokus pada mitigasi, tetapi juga adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini tercermin dalam program-program yang direncanakan, seperti pengembangan ruang terbuka hijau (RTH), peningkatan sistem drainase, dan pembangunan infrastruktur tahan bencana.

Implementasi RPRKD: Kolaborasi Multi-Sektor

Implementasi RPRKD melibatkan kolaborasi multi-sektor, baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membentuk Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Bencana Iklim (MABI) yang bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program dan aksi mitigasi serta adaptasi perubahan iklim.

Tim MABI terdiri dari berbagai unsur, seperti pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat. Kolaborasi multi-sektor ini diharapkan dapat memperkuat sinergi dan efektivitas dalam implementasi RPRKD DKI Jakarta.

Penanaman Mangrove: Salah Satu Aksi Nyata Mitigasi Perubahan Iklim

RPRKD DKI Jakarta

Salah satu aksi nyata mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah penanaman mangrove. Mangrove memiliki peran penting dalam menyerap dan menyimpan karbon, sehingga dapat membantu mengurangi emisi GRK.

Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi, habitat bagi berbagai biota laut, dan sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir. Upaya penanaman dan pelestarian mangrove menjadi bagian integral dari RPRKD DKI Jakarta.

Monitoring dan Evaluasi: Menjamin Efektivitas RPRKD DKI Jakarta

Agar implementasi RPRKD berjalan efektif dan mencapai tujuannya, pemantauan dan evaluasi berkala harus dilakukan. Ibarat sebuah perjalanan, kita perlu mengetahui sudah sejauh mana kita melangkah dan apakah kita berada di jalur yang benar. Dalam konteks RPRKD, penurunan emisi GRK menjadi indikator utama keberhasilan. Seberapa jauh upaya kita dalam mengurangi jejak karbon di Jakarta?

Selain itu, peningkatan luas ruang terbuka hijau (RTH) juga menjadi tolok ukur yang penting. RTH tidak hanya mempercantik kota, tetapi juga berperan sebagai paru-paru kota yang menyegarkan udara dan menyerap polusi.

Tak kalah penting, peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap dampak perubahan iklim juga perlu dievaluasi. Masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan untuk menghadapi berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, mulai dari banjir rob, cuaca ekstrem, hingga kenaikan permukaan air laut.

Hasil pemantauan dan evaluasi ini nantinya akan menjadi cermin bagi kita semua, memberikan gambaran yang jelas tentang kemajuan yang telah dicapai dan tantangan yang masih ada. Dengan demikian, RPRKD dan program-program turunannya dapat terus disempurnakan, disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat Jakarta dalam menghadapi perubahan iklim.

Pelestarian Mangrove untuk Benteng Kota Pesisir

Indonesia, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, memiliki hutan mangrove terluas yang menjadi aset berharga, pelestarian mangrove sebagai benteng kota pesisir menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Indonesia memiliki luas total ekosistem mangrove mencapai sekitar 3,36 juta hektar atau setara dengan sekitar 20-25% dari total luas hutan mangrove dunia.

Pelestarian Mangrove untuk Benteng Kota Pesisir

 

Dua kota metropolitan di Indonesia, Jakarta dan Surabaya, yang berada di kawasan pesisir, rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, abrasi, dan banjir rob. Hutan mangrove dianggap sebagai solusi alami yang efektif dalam mengatasi berbagai ancaman tersebut. Jakarta yang dikenal kota metropolitan terbesar di Indonesia, harus terus berbenah dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Untuk itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mencanangkan berbagai program dan kebijakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim, salah satunya melalui penanaman mangrove.

Mengapa Pelestarian Mangrove Penting?

Hutan mangrove memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir. Akar-akar mangrove yang kuat dan lebat berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi daratan dari gempuran ombak, mencegah abrasi, serta mengurangi risiko bencana alam seperti tsunami. Tak hanya itu, mangrove juga berperan penting dalam menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar, jauh lebih efektif dibandingkan hutan darat. Kemampuan ini sangat krusial dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan memerangi pemanasan global. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyaring alami yang efektif, menjaga kualitas air laut dengan menyaring berbagai polutan dan sedimen. Lingkungan yang sehat ini kemudian menjadi habitat yang ideal bagi beragam flora dan fauna, mendukung keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem pesisir.

Upaya Pelestarian Mangrove Komitmen DKI Jakarta dalam Pencapaian Net Zero Emission

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam mengatasi perubahan iklim dan mencapai target Net Zero Emission melalui berbagai kebijakan dan program. Jakarta telah bergabung dalam C40 City Network, sebuah jaringan kota-kota di dunia yang berkomitmen dalam aksi mitigasi perubahan iklim. Target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 30% pada tahun 2030 dan Net Zero Emission pada tahun 2050 juga telah ditetapkan.

Salah satu wujud nyata dari komitmen ini adalah penerbitan Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah yang Berketahanan Iklim (RPRKD), yang menjadi payung hukum bagi program penanaman mangrove. Berdasarkan data dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta, total penanaman mangrove di Jakarta selama periode 2009-2023 mencapai 953.846 pohon.

Data dan Capaian Penanaman Mangrove

Berdasarkan data dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta, total penanaman mangrove di Jakarta selama periode 2009-2023 adalah sebagai berikut:

Tahun Jumlah Pohon (estimasi)
2009-2019 661.943
2020 102.027
2021 104.752
2022 69.400
2023 15.724
Total 953.846

Tabel 1. Rekapitulasi Penanaman Mangrove di Jakarta (2009-2023)

Kebun Raya Mangrove Surabaya

Surabaya tidak kalah aktif dalam upaya pelestarian dan pengembangan hutan mangrove. Salah satu proyek ambisius yang dilakukan adalah pembangunan Kebun Raya Mangrove Surabaya, yang merupakan kebun raya mangrove pertama di Indonesia. Berdiri di atas lahan kritis seluas 3 hektare, kebun raya ini ditanami Rhizophora spp (Bakau) dengan kepadatan minimal 10.000 bibit per hektare. Kebun Raya Mangrove Surabaya diproyeksikan memiliki potensi serapan emisi karbon yang sangat besar, mencapai 950,5 MgC/ha atau 2.851,5 MgC untuk total luas lahan. Selain itu, Surabaya juga telah mengembangkan ekowisata mangrove di Wonorejo dan Gunung Anyar, yang tidak hanya menawarkan keindahan alam dan wahana edukasi, tetapi juga memberdayakan masyarakat setempat dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian hutan mangrove.

RPRKD sebagai Payung Hukum Pelestarian Mangrove

RPRKD menjadi payung hukum bagi berbagai program dan kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi emisi GRK dan meningkatkan ketahanan iklim di Jakarta. Salah satu aksi adaptasi perubahan iklim yang tercantum dalam RPRKD adalah penanaman mangrove.

Strategi dan Teknik Penanaman Mangrove

Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta bersama dengan berbagai stakeholders telah melaksanakan penanaman mangrove dengan menggunakan berbagai teknik, antara lain:
Teknik Guludan: Diterapkan pada lahan yang digenangi air dalam (di atas 1 meter). Teknik ini menciptakan hutan mangrove yang lebih tinggi dan berfungsi sebagai penghalang alami terhadap gelombang pasang, abrasi pantai, dan perubahan iklim.
Teknik Rumpun Berjarak: Diterapkan di pesisir pulau-pulau kecil untuk perlindungan terhadap erosi pantai dan memberikan mikro lingkungan yang lebih lembap untuk pertumbuhan mangrove.

Evaluasi dan Monitoring Mangrove

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyadari pentingnya pengawasan ketat terhadap program penanaman dan pelestarian mangrove. Untuk itu, monitoring dan evaluasi dilakukan secara berkala untuk memastikan program berjalan sesuai dengan tujuan awal. Evaluasi ini mencakup berbagai aspek penting, seperti tingkat kelangsungan hidup pohon mangrove, pertumbuhannya, dan dampak positif penanaman terhadap ekosistem pesisir. Data-data yang dikumpulkan memberikan gambaran mengenai efektivitas program dan menjadi dasar pengambilan keputusan untuk perbaikan di masa mendatang.

Meskipun program penanaman mangrove di Jakarta telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, beberapa tantangan masih perlu diatasi. Keterbatasan lahan yang sesuai untuk penanaman mangrove menjadi kendala utama. Pencemaran air laut dan kerusakan ekosistem pesisir juga masih menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan program ini. Di samping itu, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peran mangrove dalam menjaga keseimbangan lingkungan menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pelestarian.

Kesadaran dan Pelestarian Mangrove

Keterbatasan lahan yang sesuai untuk penanaman mangrove menjadi salah satu kendala utama. Pencemaran lingkungan, terutama pencemaran air laut dan sampah, juga menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan mangrove. Selain itu, kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat akan pentingnya peran mangrove dalam menjaga keseimbangan lingkungan juga menjadi tantangan tersendiri. Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, diperlukan upaya yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk penanaman mangrove perlu dilakukan secara cermat dan terencana. Upaya pengendalian pencemaran dan rehabilitasi ekosistem pesisir harus terus ditingkatkan agar mangrove dapat tumbuh secara optimal. Edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat juga sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi aktif dalam pelestarian mangrove. Penguatan penegakan hukum terkait perlindungan hutan mangrove harus dilakukan secara tegas untuk mencegah kerusakan dan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.

Melalui komitmen yang kuat, strategi yang tepat, dan kolaborasi dengan berbagai pihak, diharapkan Jakarta dapat menjadi kota yang lebih hijau, berkelanjutan, dan tahan terhadap perubahan iklim. Penanaman dan pelestarian mangrove merupakan investasi jangka panjang yang akan memberikan manfaat besar bagi generasi mendatang.

Darurat! Bencana Hidrometeorologi Tantangan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia

Darurat! Bencana Hidrometeorologi Tantangan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia

Bencana hidrometeorologi bisa dibilang sebagai salah satu dampak perubahan iklim yang kian nyata di Indonesia. Data dan statistik terkini menunjukkan tren peningkatan suhu, curah hujan ekstrem, dan anomali muka laut. Laporan terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2023 menyebutkan bahwa suhu bumi telah meningkat sebesar 1,1 derajat Celcius dibandingkan masa pra-industri. Proyeksi peningkatan temperatur global di atas 1,5 derajat Celcius, bahkan mencapai 3,5 derajat Celcius, menjadi peringatan keras bagi seluruh dunia.

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan konsentrasi penduduk di wilayah pesisir, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kenaikan muka air laut merupakan ancaman serius yang dapat menenggelamkan sebagian wilayah pesisir dan berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Studi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, berpotensi mengalami kenaikan muka air laut yang signifikan dalam beberapa dekade mendatang.

Kenaikan Muka Air Laut dan Krisis Air di Indonesia

Sebagai negara kepulauan, Indonesia rentan terhadap kenaikan muka air laut. Hal ini menyebabkan intrusi air laut yang mencemari sumber air bersih dan memperparah krisis air di wilayah pesisir. Kenaikan muka air laut akan mengancam pemukiman, infrastruktur, dan ekosistem pesisir. Abrasi, intrusi air laut, dan banjir rob merupakan beberapa dampak kenaikan muka air laut yang sudah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini mengakibatkan kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan, dan gangguan terhadap kehidupan masyarakat.

Cuaca Ekstrem dan Bencana Hidrometeorologi

Perubahan iklim juga memicu cuaca ekstrem yang ditandai dengan curah hujan tinggi dalam waktu singkat. Fenomena ini meningkatkan potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor. Sayangnya, ketangguhan infrastruktur dan kebijakan pembangunan di Indonesia belum sepenuhnya mampu mengantisipasi intensitas cuaca ekstrem tersebut.

Sistem drainase perkotaan umumnya didesain berdasarkan periode ulang 50 tahun, sementara cuaca ekstrem dapat memicu intensitas hujan yang melampaui periode ulang 100 tahun. Akibatnya, ketika hujan deras menguyur, kota-kota kita kerap kali lumpuh diterjang banjir. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023 saja, tercatat lebih dari 1.000 kejadian banjir di seluruh Indonesia yang mengakibatkan kerugian material dan korban jiwa.

Dominasi Bencana Hidrometeorologi di Indonesia

Bencana hidrometeorologi mendominasi jenis bencana alam di Indonesia. Data BNPB menunjukkan bahwa lebih dari 60% bencana alam yang terjadi berkaitan dengan air. Tren kekeringan juga menunjukkan peningkatan, terutama dengan adanya fenomena El Niño yang diprediksi akan memicu musim kemarau panjang. Kekeringan berkepanjangan dapat mengancam ketersediaan air bersih, produksi pangan, dan meningkatkan risiko kebakaran hutan. Pada tahun 2023, beberapa wilayah di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur dan Jawa Tengah, mengalami kekeringan yang cukup parah sehingga memerlukan bantuan air bersih dari pemerintah.

Kerentanan Banjir di Perkotaan

Banjir merupakan permasalahan klasik yang menghantui hampir seluruh metropolitan di Indonesia, baik yang berada di kawasan pesisir maupun di wilayah pedalaman. Jakarta, sebagai ibu kota yang berada di dataran rendah dan pesisir, menjadi salah satu kota dengan tingkat kerentanan banjir yang tinggi. Namun, permasalahan banjir juga menyerang kota-kota besar lainnya, seperti Bandung, Surakarta, dan Semarang. Hampir 40% bencana banjir terjadi di kawasan perkotaan dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini menunjukkan kompleksitas permasalahan banjir perkotaan yang dipicu oleh berbagai faktor, mulai dari perubahan iklim dan urbanisasi yang tidak terkendali, hingga tata ruang yang tidak berwawasan lingkungan dan pengelolaan sampah yang masih belum optimal.

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim: Strategi Menghadapi Banjir Perkotaan

Dalam menghadapi tantangan banjir perkotaan di tengah perubahan iklim, diperlukan strategi terpadu yang mencakup upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berfokus pada upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperlambat laju perubahan iklim. Transisi energi dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan, penghijauan di perkotaan, dan penggunaan transportasi publik merupakan beberapa contoh upaya mitigasi yang dapat dilakukan. Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Sementara itu, adaptasi berfokus pada upaya menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim yang sudah terjadi. Peningkatan infrastruktur yang tahan terhadap bencana, penataan ruang yang berwawasan lingkungan, peningkatan kapasitas masyarakat, dan pengembangan sistem peringatan dini merupakan langkah-langkah adaptasi yang perlu diimplementasikan.

Perubahan Iklim Memperparah Krisis Air

Selain banjir, perubahan iklim juga memperparah ancaman krisis air di Indonesia. Distribusi penduduk yang tidak merata antar pulau dan peningkatan kebutuhan air akibat pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi menciptakan tekanan pada ketersediaan air di berbagai wilayah. Proyeksi ketersediaan air pada tahun 2045 menunjukkan bahwa krisis air akan semakin meluas di Indonesia, terutama di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa neraca air di Pulau Jawa sudah mengalami defisit, sementara wilayah lainnya masih menunjukkan tren positif. Namun, dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim yang terjadi, krisis air diprediksi akan menjalar ke wilayah-wilayah

Jasa Konsultan Penyusunan Climate-Related Disclosures berdasar ISSB Standards Sektor Industri Gypsum

Jasa Konsultan Penyusunan Climate-Related Disclosures berdasar ISSB Standards Sektor Industri Gypsum

Perubahan iklim telah menjadi isu global yang semakin mendesak harus ditangani. Dampak dari perubahan iklim tidak hanya dirasakan oleh lingkungan, tetapi juga oleh industri dan ekonomi. Dalam upaya untuk mengatasi tantangan ini, International Sustainability Standards Board (ISSB) telah mengembangkan standar pengungkapan terkait iklim yang dirancang untuk membantu perusahaan mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola risiko serta peluang yang terkait dengan perubahan iklim. Standar ini dikenal sebagai Climate-Related Disclosures berdasarkan ISSB Standards.

Climate-Related Disclosures Berdasar ISSB Standards

Climate-Related Disclosures atau pengungkapan informasi iklim adalah proses pelaporan informasi yang berkaitan dengan dampak iklim terhadap perusahaan dan sebaliknya. International Sustainability Standards Board (ISSB) telah mengembangkan standar yang membantu perusahaan dalam menyusun laporan yang transparan dan akurat terkait isu iklim. Standar ini mencakup berbagai aspek seperti risiko dan peluang iklim, strategi perusahaan dalam menghadapi perubahan iklim, serta dampak finansial dari isu iklim tersebut.

Tujuan Climate-Related Disclosures Berdasarkan ISSB Standards

Tujuan utama dari Climate-Related Disclosures berdasarkan ISSB Standards adalah untuk memberikan transparansi kepada para pemangku kepentingan mengenai bagaimana perusahaan mengelola risiko dan peluang terkait iklim. Standar ini juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas informasi yang disampaikan oleh perusahaan kepada investor, sehingga mereka dapat membuat keputusan investasi yang lebih baik. Selain itu, pengungkapan ini membantu perusahaan dalam merancang strategi yang lebih berkelanjutan dan tangguh terhadap perubahan iklim.

Industri Gypsum

Industri ini pertama kali berkembang di Indonesia seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan material bangunan yang efisien dan ramah lingkungan. Gypsum menjadi salah satu pilihan utama karena sifatnya yang mudah dibentuk dan memiliki daya tahan yang baik.

Industri ini mencakup pembuatan barang dari gips yang digunakan dalam konstruksi. Produk-produk dari gypsum seperti papan, lembaran, dan panel sering digunakan dalam pembangunan gedung dan infrastruktur lainnya. Selain itu, industri ini juga mencakup pembuatan bahan bangunan dari substansi tumbuh-tumbuhan yang disatukan plester gips, seperti wol kayu, alang-alang, jerami, dan lain-lain.

Industri gypsum telah menjadi bagian penting dalam konstruksi bangunan selama beberapa dekade. Perubahan iklim dan dampaknya terhadap planet ini telah mendorong berbagai sektor industri, termasuk industri gypsum. Dianggap sebagai salah satu sektor yang berpotensi menghasilkan emisi dituntut untuk lebih memperhatikan peraturan, termasuk terkait Climate-Related Disclosures (CRD).

Proses Produksi Industr Gypsum

Proses produksi gypsum dimulai dari penambangan bahan baku gypsum dari alam. Setelah bahan baku diperoleh, langkah berikutnya adalah penghancuran dan pemurnian untuk mendapatkan gypsum berkualitas tinggi. Proses ini melibatkan beberapa tahapan seperti penggilingan, pemanasan, dan pencampuran dengan bahan lain untuk memperoleh produk akhir yang siap digunakan dalam konstruksi.

Beberapa produk yang dihasilkan oleh industri gypsum antara lain:

  • Papan Gypsum: Digunakan untuk dinding interior dan plafon.
  • Lembaran Gypsum: Digunakan dalam pembangunan partisi dan pelapis dinding.
  • Panel Gypsum: Digunakan dalam berbagai aplikasi konstruksi seperti pelapis lantai dan dinding eksternal.

Dampak Industri Gypsum terhadap Lingkungan dan Iklim

Industri gypsum memiliki beberapa dampak terhadap lingkungan dan iklim. Proses penambangan dan produksi gypsum dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca serta limbah industri yang dapat mencemari lingkungan. Selain itu, penggunaan energi dalam proses produksi juga berkontribusi terhadap peningkatan jejak karbon perusahaan.

Pengungkapan Informasi Iklim Berdasar ISSB dan Hubungannya dengan Industri Gypsum

Pengungkapan informasi iklim berdasar ISSB sangat relevan bagi industri gypsum. Melalui pengungkapan ini, perusahaan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai dampak iklim dari operasional mereka serta strategi yang diterapkan untuk mengurangi dampak tersebut. Hal ini tidak hanya penting untuk mematuhi peraturan yang berlaku, tetapi juga untuk meningkatkan transparansi dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan.

Mengatasi Dampak Lingkungan dari Industri Gypsum

Untuk mengatasi dampak lingkungan dari industri gypsum, beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:

  • Penggunaan teknologi ramah lingkungan: Mengadopsi teknologi yang lebih efisien dan memiliki emisi rendah.
  • Recycling: Menggunakan kembali limbah gypsum untuk mengurangi jumlah limbah yang dibuang.
  • Konservasi energi: Meningkatkan efisiensi energi dalam proses produksi untuk mengurangi konsumsi energi dan emisi karbon.

5 Perusahaan di Sektor Industri Gypsum di Indonesia

Beberapa perusahaan yang bergerak di sektor industri gypsum di Indonesia antara lain:

  1. PT Knauf Plasterboard Indonesia: Produksi papan gypsum.
  2. PT Jayaboard: Produksi papan dan lembaran gypsum.
  3. PT Saint-Gobain Construction Products Indonesia: Produksi panel dan lembaran gypsum.
  4. PT Sinar Jaya Plasterboard: Produksi lembaran dan papan gypsum.
  5. PT Wahana Global: Produksi berbagai produk gypsum untuk kebutuhan konstruksi.

Bagaimana Actia Dapat Membantu Penyusunan Climate-Related Disclosures Berdasarkan ISSB Standards Sektor Industri Gypsum

Actia sebagai perusahaan konsultan lingkungan dapat membantu perusahaan dalam penyusunan Climate-Related Disclosures berdasar ISSB Standards di sektor industri gypsum dengan beberapa cara:

  1. Konsultasi dan Pelatihan: Memberikan konsultasi dan pelatihan terkait penyusunan laporan CRD yang sesuai dengan standar ISSB.
  2. Penilaian Risiko dan Peluang Iklim: Membantu perusahaan dalam mengidentifikasi dan menilai risiko serta peluang yang berkaitan dengan perubahan iklim.
  3. Strategi Pengurangan Dampak Iklim: Membantu dalam merancang dan mengimplementasikan strategi untuk mengurangi dampak iklim dari operasional perusahaan.
  4. Penyusunan Laporan: Membantu dalam menyusun laporan CRD yang sesuai dengan standar ISSB.

Dengan bantuan dari Actia, perusahaan di sektor industri gypsum dapat lebih mudah memenuhi ketaatan peraturan, meningkatkan transparansi, dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga dapat meningkatkan reputasi perusahaan di mata publik. Klik di sini dan dapatkan bantuan menyusun Climate-Related Disclosures Berdasarkan ISSB Standards!

PT ACTIA BERSAMA SEJAHTERA

Office 1 – Lantai 18, Office 8 – Senopati Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Office 2 – Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

 

Hubungi Kami

PT Actia Bersama Sejahtera – Support oleh Dokter Website