Pelestarian Mangrove untuk Benteng Kota Pesisir

Indonesia, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, memiliki hutan mangrove terluas yang menjadi aset berharga, pelestarian mangrove sebagai benteng kota pesisir menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Indonesia memiliki luas total ekosistem mangrove mencapai sekitar 3,36 juta hektar atau setara dengan sekitar 20-25% dari total luas hutan mangrove dunia.

Pelestarian Mangrove untuk Benteng Kota Pesisir

 

Dua kota metropolitan di Indonesia, Jakarta dan Surabaya, yang berada di kawasan pesisir, rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, abrasi, dan banjir rob. Hutan mangrove dianggap sebagai solusi alami yang efektif dalam mengatasi berbagai ancaman tersebut. Jakarta yang dikenal kota metropolitan terbesar di Indonesia, harus terus berbenah dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Untuk itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mencanangkan berbagai program dan kebijakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim, salah satunya melalui penanaman mangrove.

Mengapa Pelestarian Mangrove Penting?

Hutan mangrove memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir. Akar-akar mangrove yang kuat dan lebat berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi daratan dari gempuran ombak, mencegah abrasi, serta mengurangi risiko bencana alam seperti tsunami. Tak hanya itu, mangrove juga berperan penting dalam menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar, jauh lebih efektif dibandingkan hutan darat. Kemampuan ini sangat krusial dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan memerangi pemanasan global. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyaring alami yang efektif, menjaga kualitas air laut dengan menyaring berbagai polutan dan sedimen. Lingkungan yang sehat ini kemudian menjadi habitat yang ideal bagi beragam flora dan fauna, mendukung keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem pesisir.

Upaya Pelestarian Mangrove Komitmen DKI Jakarta dalam Pencapaian Net Zero Emission

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam mengatasi perubahan iklim dan mencapai target Net Zero Emission melalui berbagai kebijakan dan program. Jakarta telah bergabung dalam C40 City Network, sebuah jaringan kota-kota di dunia yang berkomitmen dalam aksi mitigasi perubahan iklim. Target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 30% pada tahun 2030 dan Net Zero Emission pada tahun 2050 juga telah ditetapkan.

Salah satu wujud nyata dari komitmen ini adalah penerbitan Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah yang Berketahanan Iklim (RPRKD), yang menjadi payung hukum bagi program penanaman mangrove. Berdasarkan data dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta, total penanaman mangrove di Jakarta selama periode 2009-2023 mencapai 953.846 pohon.

Data dan Capaian Penanaman Mangrove

Berdasarkan data dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta, total penanaman mangrove di Jakarta selama periode 2009-2023 adalah sebagai berikut:

Tahun Jumlah Pohon (estimasi)
2009-2019 661.943
2020 102.027
2021 104.752
2022 69.400
2023 15.724
Total 953.846

Tabel 1. Rekapitulasi Penanaman Mangrove di Jakarta (2009-2023)

Kebun Raya Mangrove Surabaya

Surabaya tidak kalah aktif dalam upaya pelestarian dan pengembangan hutan mangrove. Salah satu proyek ambisius yang dilakukan adalah pembangunan Kebun Raya Mangrove Surabaya, yang merupakan kebun raya mangrove pertama di Indonesia. Berdiri di atas lahan kritis seluas 3 hektare, kebun raya ini ditanami Rhizophora spp (Bakau) dengan kepadatan minimal 10.000 bibit per hektare. Kebun Raya Mangrove Surabaya diproyeksikan memiliki potensi serapan emisi karbon yang sangat besar, mencapai 950,5 MgC/ha atau 2.851,5 MgC untuk total luas lahan. Selain itu, Surabaya juga telah mengembangkan ekowisata mangrove di Wonorejo dan Gunung Anyar, yang tidak hanya menawarkan keindahan alam dan wahana edukasi, tetapi juga memberdayakan masyarakat setempat dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian hutan mangrove.

RPRKD sebagai Payung Hukum Pelestarian Mangrove

RPRKD menjadi payung hukum bagi berbagai program dan kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi emisi GRK dan meningkatkan ketahanan iklim di Jakarta. Salah satu aksi adaptasi perubahan iklim yang tercantum dalam RPRKD adalah penanaman mangrove.

Strategi dan Teknik Penanaman Mangrove

Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta bersama dengan berbagai stakeholders telah melaksanakan penanaman mangrove dengan menggunakan berbagai teknik, antara lain:
Teknik Guludan: Diterapkan pada lahan yang digenangi air dalam (di atas 1 meter). Teknik ini menciptakan hutan mangrove yang lebih tinggi dan berfungsi sebagai penghalang alami terhadap gelombang pasang, abrasi pantai, dan perubahan iklim.
Teknik Rumpun Berjarak: Diterapkan di pesisir pulau-pulau kecil untuk perlindungan terhadap erosi pantai dan memberikan mikro lingkungan yang lebih lembap untuk pertumbuhan mangrove.

Evaluasi dan Monitoring Mangrove

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyadari pentingnya pengawasan ketat terhadap program penanaman dan pelestarian mangrove. Untuk itu, monitoring dan evaluasi dilakukan secara berkala untuk memastikan program berjalan sesuai dengan tujuan awal. Evaluasi ini mencakup berbagai aspek penting, seperti tingkat kelangsungan hidup pohon mangrove, pertumbuhannya, dan dampak positif penanaman terhadap ekosistem pesisir. Data-data yang dikumpulkan memberikan gambaran mengenai efektivitas program dan menjadi dasar pengambilan keputusan untuk perbaikan di masa mendatang.

Meskipun program penanaman mangrove di Jakarta telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, beberapa tantangan masih perlu diatasi. Keterbatasan lahan yang sesuai untuk penanaman mangrove menjadi kendala utama. Pencemaran air laut dan kerusakan ekosistem pesisir juga masih menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan program ini. Di samping itu, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peran mangrove dalam menjaga keseimbangan lingkungan menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pelestarian.

Kesadaran dan Pelestarian Mangrove

Keterbatasan lahan yang sesuai untuk penanaman mangrove menjadi salah satu kendala utama. Pencemaran lingkungan, terutama pencemaran air laut dan sampah, juga menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan mangrove. Selain itu, kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat akan pentingnya peran mangrove dalam menjaga keseimbangan lingkungan juga menjadi tantangan tersendiri. Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, diperlukan upaya yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk penanaman mangrove perlu dilakukan secara cermat dan terencana. Upaya pengendalian pencemaran dan rehabilitasi ekosistem pesisir harus terus ditingkatkan agar mangrove dapat tumbuh secara optimal. Edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat juga sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi aktif dalam pelestarian mangrove. Penguatan penegakan hukum terkait perlindungan hutan mangrove harus dilakukan secara tegas untuk mencegah kerusakan dan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.

Melalui komitmen yang kuat, strategi yang tepat, dan kolaborasi dengan berbagai pihak, diharapkan Jakarta dapat menjadi kota yang lebih hijau, berkelanjutan, dan tahan terhadap perubahan iklim. Penanaman dan pelestarian mangrove merupakan investasi jangka panjang yang akan memberikan manfaat besar bagi generasi mendatang.

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) di Kawasan Pesisir: Optimis Raih Net Zero Emission (NZE)

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) di Kawasan Pesisir: Optimis Raih Net Zero Emission (NZE)

Kawasan pesisir Indonesia, memegang peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global. Mangrove dan terumbu karang, yang dikenal sebagai blue carbon, merupakan penyerap karbon alami yang signifikan dalam upaya mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Namun, degradasi lingkungan pesisir menjadi tantangan serius yang menuntut perhatian dan aksi nyata. Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 3,3 juta hektar mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak, sementara 65% terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi kurang sehat.

Kondisi ini menegaskan urgensi pengelolaan pesisir terintegrasi yang memperhatikan baik aspek perlindungan lingkungan maupun pemanfaatan ekonomi secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi instrumen penting untuk mengukur dan memantau emisi GRK dari berbagai aktivitas di wilayah pesisir, serta mengevaluasi efektivitas upaya mitigasi yang dilakukan.

Dinamika Ekosistem Pesisir Indonesia: Kerusakan dan Upaya Pemulihan

Kondisi mangrove di Indonesia menunjukkan variasi yang signifikan. Beberapa wilayah seperti Papua, sebagian Kalimantan, dan Sulawesi masih memiliki kepadatan mangrove yang relatif baik. Namun, di Pulau Jawa, pesisir Selatan Sumatera, Nusa Tenggara, dan Bali, degradasi mangrove telah terjadi secara masif. Kerusakan mangrove dan terumbu karang tidak hanya meningkatkan kerentanan terhadap bencana alam, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan emisi GRK. Ketika ekosistem pesisir rusak, karbon yang tersimpan di dalamnya akan dilepaskan ke atmosfer, sehingga mengurangi kapasitas penyerapan karbon dan menambah beban emisi GRK.

Ibarat “kalkulator karbon”, inventarisasi GRK memungkinkan kita untuk mengukur emisi GRK dari berbagai aktivitas di kawasan pesisir, memantau perubahannya dari waktu ke waktu, dan mengevaluasi efektivitas upaya mitigasi.

Kerusakan ekosistem pesisir di Indonesia dipicu oleh alih fungsi lahan mangrove untuk tambak, pemukiman, dan infrastruktur. Pencemaran limbah industri, pertanian, dan rumah tangga juga merusak terumbu karang dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan bom ikan dan pukat harimau, turut memperparah kondisi ini. Perubahan iklim dengan peningkatan suhu air laut, pengasaman laut, dan kenaikan permukaan air laut juga mengancam kesehatan dan kelangsungan hidup ekosistem pesisir.

Aktivitas tersebut berpotensi menjadi sumber emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di kawasan pesisir. Deforestasi dan konversi mangrove menjadi tambak atau pemukiman melepaskan karbon yang tersimpan di dalamnya. Kerusakan terumbu karang akibat penangkapan ikan yang merusak, pencemaran, dan perubahan iklim juga mengurangi kemampuannya dalam menyerap karbon. Transportasi laut, khususnya kapal dan perahu yang menggunakan bahan bakar fosil, turut menghasilkan emisi GRK. Aktivitas industri di kawasan pesisir, seperti pengolahan hasil laut, dan konsumsi energi di pemukiman juga berkontribusi pada emisi GRK. Selain itu, pengolahan limbah yang tidak memadai di kawasan pesisir dapat menghasilkan emisi metana, gas rumah kaca yang lebih kuat dari karbon dioksida.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan pengelolaan pesisir terintegrasi sebagai prioritas nasional. Pendekatan ini menekankan keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan pemanfaatan ekonomi pesisir berkelanjutan. Potensi ekonomi pesisir yang besar dalam sektor perikanan, pariwisata, dan industri maritim harus dikelola secara bijak untuk memastikan kelestarian ekosistem dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Strategi dan Inovasi dalam Pengelolaan Pesisir

Dalam upaya pengelolaan pesisir terintegrasi, pemerintah telah mengambil beberapa langkah serius. Salah satunya adalah pengembangan aplikasi AKSARA (Aplikasi Kebijakan dan Strategi Respons Adaptasi) oleh Bappenas. Aplikasi ini memudahkan pemantauan dan evaluasi kebijakan terkait pengelolaan lingkungan dan penurunan emisi GRK. Selain itu, program pemulihan kawasan pesisir dengan pendekatan building with nature atau nature-based solutions telah diimplementasikan di berbagai lokasi. Program ini tidak hanya berfokus pada aspek teknis pemulihan ekosistem, tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan pemberdayaan masyarakat pesisir.

Sponge City di Ibu Kota Nusantara (IKN)

Penerapan konsep Sponge City di beberapa kota di Indonesia, termasuk di Ibu Kota Nusantara (IKN), menjadi solusi inovatif untuk mengatasi permasalahan air perkotaan, seperti banjir, kekeringan, dan pencemaran air. Sponge City mengintegrasikan infrastruktur hijau dan infrastruktur abu-abu untuk meningkatkan daya resap air, mengurangi limpasan permukaan, dan meningkatkan kualitas air. Ibu Kota Nusantara (IKN) dirancang sebagai model kota berkelanjutan dengan menerapkan berbagai kebijakan pro-lingkungan, seperti konsep Forest City, Zero Delta Q Policy, dan Sponge City yang terintegrasi dengan desain kota. Ibu Kota Nusantara (IKN) diharapkan menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Selain upaya-upaya tersebut, perlu dilakukan penguatan penegakan hukum dan pengawasan terhadap perusakan lingkungan pesisir. Peningkatan kesadaran masyarakat melalui edukasi dan kampanye mengenai pentingnya menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan dampak perubahan iklim juga menjadi fokus.

Pengembangan ekonomi berkelanjutan di kawasan pesisir, seperti ekowisata dan budidaya perikanan berkelanjutan, perlu didorong untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir tanpa merusak lingkungan.

Kerjasama multi-pihak yang melibatkan pemerintah, masyarakat, swasta, dan LSM sangat penting dalam mewujudkan pengelolaan pesisir terintegrasi yang efektif. Dengan kolaborasi dan komitmen bersama, Indonesia dapat menjaga kelestarian ekosistem pesisirnya, memanfaatkan potensi ekonomi secara berkelanjutan, dan berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim global.

 

RPJPN 2025-2045: Mendorong Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir dan Maritim

RPJPN 2025-2045: Mendorong Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir dan Maritim

Dalam dua artikel sebelumnya, kami telah membahas ancaman perubahan iklim dan kenaikan muka air laut yang kian nyata di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan menjadi fokus pemerintah, dalam menyikapi tantangan tersebut pemerintah Indonesia menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

RPJPN 2025-2045 mengusung tema “Indonesia Emas 2045” dengan visi “Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan”. Tema ini menempatkan isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu pilar utama pembangunan Indonesia di masa depan. Konsep “Nusantara Berdaulat” mencakup aspek ketangguhan wilayah dan ketahanan nasional, termasuk dalam menghadapi bencana dan dampak perubahan iklim. “Negara Maju” diwujudkan melalui pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, di mana sektor kemaritiman memiliki peran strategis. Sedangkan “Berkelanjutan” menekankan pada keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Dalam RPJPN 2025-2045, pembangunan dan keberlanjutan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Pembangunan yang tidak berkelanjutan tidak lagi relevan di era saat ini. Kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam kian meningkat, baik di tingkat nasional maupun global.

Misi Ketahanan Sosial, Budaya, dan Ekologi

Salah satu misi dalam RPJPN 2025-2045 adalah “Mewujudkan Ketahanan Sosial, Budaya, dan Ekologi”. Misi ini mencakup upaya untuk meningkatkan ketahanan energi, air, dan kemandirian pangan, serta meningkatkan resiliensi terhadap bencana dan perubahan iklim. Arah pembangunan ini akan menjadi landasan bagi Indonesia dalam melaksanakan pembangunan di 20 tahun ke depan hingga tahun 2045.

Strategi Pembangunan Berkelanjutan di Sektor AFOLU

Sektor Agriculture, Forestry, and Other Land Use (AFOLU) memiliki peran penting dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. RPJPN 2025-2045 menekankan pentingnya integrasi antara ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan livelihood, serta ketahanan ekosistem dan landscape dalam pembangunan sektor AFOLU.

Konsep Nationally Determined Contribution (NDC) juga diintegrasikan dalam strategi pembangunan sektor AFOLU. Beberapa fokus utama dalam NDC di bidang pertanian dan kehutanan antara lain adalah pengelolaan lahan berkelanjutan, konservasi hutan, dan peningkatan produktivitas pertanian dengan emisi karbon yang lebih rendah.

Modernisasi Pertanian dan Irigasi untuk Efisiensi Air

Di sektor pertanian, pemerintah mendorong modernisasi sistem pertanian dan irigasi guna meningkatkan efisiensi penggunaan air dan mengurangi emisi karbon. Modernisasi irigasi menjadi salah satu prioritas untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya air yang kian terbatas. Efisiensi irigasi juga bertujuan untuk mendukung ketersediaan air bagi sektor lain, seperti perkotaan dan industri.

Climate Smart Agriculture: Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Pertanian

Penerapan Climate Smart Agriculture (CSA) menjadi salah satu strategi utama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor pertanian. CSA mencakup berbagai praktik dan teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Beberapa contoh penerapan CSA antara lain adalah penggunaan varietas tanaman yang tahan kekeringan, pengelolaan tanah dan air yang berkelanjutan, serta penerapan sistem irigasi yang efisien. CSA juga menekankan pentingnya pemberdayaan petani dan peningkatan akses terhadap informasi dan teknologi pertanian.

Pemanfaatan Teknologi dan Inovasi untuk Pembangunan Berkelanjutan

Pemanfaatan teknologi dan inovasi menjadi kunci dalam mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Teknologi digital, bioteknologi, dan nanoteknologi dapat diaplikasikan di berbagai sektor untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan.

Di sektor pertanian, teknologi dapat dimanfaatkan untuk pengembangan varietas tanaman unggul, sistem informasi pasar, dan pemantauan kondisi lahan secara real-time. Di sektor energi, teknologi dapat mendukung pengembangan energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi.

Kolaborasi Multi-Pihak untuk Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan memerlukan kolaborasi dan sinergi antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, swasta, masyarakat, dan akademisi. Kemitraan multi-pihak diperlukan untuk menciptakan inovasi, menggerakkan investasi, dan meningkatkan kapasitas dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Pemerintah berperan dalam menyusun kebijakan dan regulasi yang mendukung pembangunan berkelanjutan, serta menyediakan insentif dan fasilitas bagi para pelaku usaha. Swasta berperan dalam menggerakkan investasi dan inovasi di berbagai sektor. Masyarakat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Sedangkan akademisi berperan dalam melakukan penelitian dan pengembangan, serta menyediakan data dan informasi yang akurat untuk mendukung pengambilan kebijakan.

RPJPN 2025-2045 merupakan langkah strategis Indonesia dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan mencapai visi “Indonesia Emas 2045”. Dengan komitmen dan aksi nyata dari seluruh elemen bangsa, Indonesia dapat menghadapi tantangan perubahan iklim dan menjamin masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

5 Strategi Mitigasi dan Adaptasi Kenaikan Muka Air Laut di Indonesia

Mitigasi dan adaptasi yang telah kita bahas pada artikel sebelumnya terkait dengan peningkatan cuaca ekstrem dan krisis air. Kini, mari kita telaah lebih dalam mengenai salah satu dampak perubahan iklim yang paling mengancam bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu kenaikan muka air laut.

Proyeksi kenaikan muka air laut hingga tahun 2100 menunjukkan angka yang cukup mengkhawatirkan. Meskipun secara nasional kenaikannya diprediksi berada pada level moderat, namun potensi kenaikan hingga 1-5 meter akan berdampak signifikan bagi Indonesia. Studi terbaru dari Climate Central memprediksi bahwa sebagian besar wilayah pesisir di Indonesia akan terkena dampak kenaikan muka air laut, termasuk kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang.

Aksi Nyata Mitigasi dan Adaptasi Kenaikan Muka Air Laut
Kenaikan Muka Air Laut

Dampaknya? Bukan hanya pemukiman dan infrastruktur terancam, risiko banjir rob, abrasi, dan intrusi air laut juga meningkat. Aktivitas ekonomi seperti perikanan dan pariwisata terganggu. Lebih dari itu, kenaikan muka air laut dapat mengurangi luas wilayah Indonesia dan mengancam kedaulatan negara.

Komitmen Indonesia dalam Paris Agreement

Menyadari urgensi permasalahan perubahan iklim, Indonesia telah aktif berpartisipasi dalam forum internasional, termasuk Conference of the Parties (COP) yang telah digagas sejak tahun 1992. Dalam Paris Agreement yang disepakati pada tahun 2015, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui Nationally Determined Contribution (NDC). NDC merupakan dokumen yang berisi target dan rencana aksi setiap negara dalam mengurangi emisi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.

Indonesia telah menyampaikan NDC pertamanya pada tahun 2016 dan memperbaruinya pada tahun 2022. Target Indonesia dalam NDC terbaru adalah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut, Indonesia telah menyusun berbagai kebijakan dan program di berbagai sektor, seperti energi, kehutanan, dan pertanian.

RPJMN 2020-2024: Lingkungan Hidup Berkelanjutan dan Ketahanan Bencana

Isu lingkungan hidup berkelanjutan dan ketahanan bencana menjadi salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Tujuh agenda pembangunan dalam RPJMN mencakup isu lingkungan hidup, ketahanan bencana, dan perubahan iklim. Penurunan emisi gas rumah kaca merupakan salah satu sasaran makro yang menjadi program prioritas pemerintah.

Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan untuk mencapai target dalam RPJMN, termasuk penerapan kebijakan baru, rehabilitasi dan pemulihan lingkungan, serta peningkatan kapasitas masyarakat. Namun, pencapaian target tersebut masih mengalami berbagai tantangan, terutama dalam hal rehabilitasi lingkungan dan pengendalian emisi gas rumah kaca.

Aksi Nyata Mitigasi dan Adaptasi Kenaikan Muka Air Laut

Untuk mencegah tenggelamnya Nusantara akibat kenaikan muka air laut, diperlukan aksi nyata mitigasi dan adaptasi yang terpadu dan berkelanjutan. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:

Mitigasi: Mengurangi emisi gas rumah kaca melalui transisi energi ke sumber energi terbarukan, pengendalian deforestasi, dan penerapan teknologi ramah lingkungan.

Adaptasi: Membangun infrastruktur pesisir yang tahan terhadap kenaikan muka air laut, seperti tanggul laut, polder, dan bangunan tahan banjir. Melakukan relokasi pemukiman di wilayah rawan bencana dan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana pesisir.

Konservasi dan Rehabilitasi: Melakukan konservasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun, untuk melindungi garis pantai dari abrasi dan meningkatkan ketahanan pesisir terhadap kenaikan muka air laut.

Penelitian dan Pengembangan: Meningkatkan penelitian dan pengembangan terkait dengan dampak perubahan iklim dan teknologi adaptasi kenaikan muka air laut.

Kerjasama Internasional: Memperkuat kerjasama internasional dalam hal mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, termasuk dalam hal transfer teknologi dan pendanaan.

Menuju Indonesia Tangguh Hadapi Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan tantangan global yang memerlukan aksi nyata dari seluruh negara. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, harus terus meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi guna mewujudkan ketahanan nasional dan menjamin masa depan yang berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, masyarakat, dan akademisi sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan membangun Indonesia yang lebih tangguh.

PT ACTIA BERSAMA SEJAHTERA

Office 1 – Lantai 18, Office 8 – Senopati Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Office 2 – Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

 

Hubungi Kami

PT Actia Bersama Sejahtera – Support oleh Dokter Website