Kawasan pesisir Indonesia, memegang peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global. Mangrove dan terumbu karang, yang dikenal sebagai blue carbon, merupakan penyerap karbon alami yang signifikan dalam upaya mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Namun, degradasi lingkungan pesisir menjadi tantangan serius yang menuntut perhatian dan aksi nyata. Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 3,3 juta hektar mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak, sementara 65% terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi kurang sehat.
Kondisi ini menegaskan urgensi pengelolaan pesisir terintegrasi yang memperhatikan baik aspek perlindungan lingkungan maupun pemanfaatan ekonomi secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi instrumen penting untuk mengukur dan memantau emisi GRK dari berbagai aktivitas di wilayah pesisir, serta mengevaluasi efektivitas upaya mitigasi yang dilakukan.
Dinamika Ekosistem Pesisir Indonesia: Kerusakan dan Upaya Pemulihan
Kondisi mangrove di Indonesia menunjukkan variasi yang signifikan. Beberapa wilayah seperti Papua, sebagian Kalimantan, dan Sulawesi masih memiliki kepadatan mangrove yang relatif baik. Namun, di Pulau Jawa, pesisir Selatan Sumatera, Nusa Tenggara, dan Bali, degradasi mangrove telah terjadi secara masif. Kerusakan mangrove dan terumbu karang tidak hanya meningkatkan kerentanan terhadap bencana alam, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan emisi GRK. Ketika ekosistem pesisir rusak, karbon yang tersimpan di dalamnya akan dilepaskan ke atmosfer, sehingga mengurangi kapasitas penyerapan karbon dan menambah beban emisi GRK.
Ibarat “kalkulator karbon”, inventarisasi GRK memungkinkan kita untuk mengukur emisi GRK dari berbagai aktivitas di kawasan pesisir, memantau perubahannya dari waktu ke waktu, dan mengevaluasi efektivitas upaya mitigasi.
Kerusakan ekosistem pesisir di Indonesia dipicu oleh alih fungsi lahan mangrove untuk tambak, pemukiman, dan infrastruktur. Pencemaran limbah industri, pertanian, dan rumah tangga juga merusak terumbu karang dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan bom ikan dan pukat harimau, turut memperparah kondisi ini. Perubahan iklim dengan peningkatan suhu air laut, pengasaman laut, dan kenaikan permukaan air laut juga mengancam kesehatan dan kelangsungan hidup ekosistem pesisir.
Aktivitas tersebut berpotensi menjadi sumber emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di kawasan pesisir. Deforestasi dan konversi mangrove menjadi tambak atau pemukiman melepaskan karbon yang tersimpan di dalamnya. Kerusakan terumbu karang akibat penangkapan ikan yang merusak, pencemaran, dan perubahan iklim juga mengurangi kemampuannya dalam menyerap karbon. Transportasi laut, khususnya kapal dan perahu yang menggunakan bahan bakar fosil, turut menghasilkan emisi GRK. Aktivitas industri di kawasan pesisir, seperti pengolahan hasil laut, dan konsumsi energi di pemukiman juga berkontribusi pada emisi GRK. Selain itu, pengolahan limbah yang tidak memadai di kawasan pesisir dapat menghasilkan emisi metana, gas rumah kaca yang lebih kuat dari karbon dioksida.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan pengelolaan pesisir terintegrasi sebagai prioritas nasional. Pendekatan ini menekankan keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan pemanfaatan ekonomi pesisir berkelanjutan. Potensi ekonomi pesisir yang besar dalam sektor perikanan, pariwisata, dan industri maritim harus dikelola secara bijak untuk memastikan kelestarian ekosistem dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Strategi dan Inovasi dalam Pengelolaan Pesisir
Dalam upaya pengelolaan pesisir terintegrasi, pemerintah telah mengambil beberapa langkah serius. Salah satunya adalah pengembangan aplikasi AKSARA (Aplikasi Kebijakan dan Strategi Respons Adaptasi) oleh Bappenas. Aplikasi ini memudahkan pemantauan dan evaluasi kebijakan terkait pengelolaan lingkungan dan penurunan emisi GRK. Selain itu, program pemulihan kawasan pesisir dengan pendekatan building with nature atau nature-based solutions telah diimplementasikan di berbagai lokasi. Program ini tidak hanya berfokus pada aspek teknis pemulihan ekosistem, tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan pemberdayaan masyarakat pesisir.
Sponge City di Ibu Kota Nusantara (IKN)
Penerapan konsep Sponge City di beberapa kota di Indonesia, termasuk di Ibu Kota Nusantara (IKN), menjadi solusi inovatif untuk mengatasi permasalahan air perkotaan, seperti banjir, kekeringan, dan pencemaran air. Sponge City mengintegrasikan infrastruktur hijau dan infrastruktur abu-abu untuk meningkatkan daya resap air, mengurangi limpasan permukaan, dan meningkatkan kualitas air. Ibu Kota Nusantara (IKN) dirancang sebagai model kota berkelanjutan dengan menerapkan berbagai kebijakan pro-lingkungan, seperti konsep Forest City, Zero Delta Q Policy, dan Sponge City yang terintegrasi dengan desain kota. Ibu Kota Nusantara (IKN) diharapkan menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Selain upaya-upaya tersebut, perlu dilakukan penguatan penegakan hukum dan pengawasan terhadap perusakan lingkungan pesisir. Peningkatan kesadaran masyarakat melalui edukasi dan kampanye mengenai pentingnya menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan dampak perubahan iklim juga menjadi fokus.
Pengembangan ekonomi berkelanjutan di kawasan pesisir, seperti ekowisata dan budidaya perikanan berkelanjutan, perlu didorong untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir tanpa merusak lingkungan.
Kerjasama multi-pihak yang melibatkan pemerintah, masyarakat, swasta, dan LSM sangat penting dalam mewujudkan pengelolaan pesisir terintegrasi yang efektif. Dengan kolaborasi dan komitmen bersama, Indonesia dapat menjaga kelestarian ekosistem pesisirnya, memanfaatkan potensi ekonomi secara berkelanjutan, dan berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim global.