Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki ketergantungan yang erat dengan laut. Laut tidak hanya menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir, tetapi juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Dalam konteks perubahan iklim, laut menjadi elemen krusial yang perlu diintegrasikan ke dalam strategi nasional.
Sejak tahun 1994, UNFCCC telah menekankan pentingnya laut dalam diskursus perubahan iklim. Peran laut semakin dipertegas melalui berbagai forum internasional, seperti COP 21 di Paris, COP 25 di Chile, hingga COP 26 di Glasgow, yang secara konsisten menyelenggarakan Ocean and Climate Change Dialogue. Dialog-dialog ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman dan aksi nyata terkait peran laut dalam menghadapi perubahan iklim.
Indonesia, dengan luas laut yang mendominasi, telah merespon inisiatif global ini dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 yang meratifikasi UNFCCC. Undang-undang ini dengan jelas menegaskan pentingnya laut dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. NDC Indonesia tahun 2016 kemudian memperkuat hal ini dengan menyertakan paragraf khusus tentang pentingnya ekosistem laut dan perlunya perencanaan penggunaan sumber daya laut yang berkelanjutan.
Komitmen Indonesia terus bergulir dengan diusulkan Climate Ocean Nexus pada COP25 di Chile tahun 2019. Pada tahun 2020, Indonesia mengajukan submisi terkait isu kelautan dalam perubahan iklim, dan pada tahun 2021, isu kelautan secara eksplisit dimasukkan ke dalam komponen adaptasi Enhanced NDC 2022.
Momentum ini semakin diperkuat melalui G20 Partnership on Ocean-based Actions for Climate, yang melahirkan inisiatif SEAFOAM (Science and Exploration for Ocean-based Actions for Mitigation). SEAFOAM merupakan platform riset kebijakan yang berfokus pada pengembangan opsi mitigasi berbasis laut untuk diintegrasikan ke dalam NDC Indonesia.
Salah satu pencapaian penting adalah masuknya mangrove ke dalam NDC sebagai bagian dari AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use). Mangrove, sebagai salah satu ekosistem blue carbon yang diakui oleh IPCC, memiliki kapasitas besar dalam menyerap dan menyimpan karbon.
Blue Carbon: Potensi dan Implementasinya dalam NDC Indonesia
Blue carbon merujuk pada karbon yang diserap, disimpan, dan dilepaskan oleh ekosistem pesisir dan laut, seperti hutan mangrove, padang lamun, dan rawa payau. Ekosistem ini memiliki kemampuan menyerap karbon yang jauh lebih besar dibandingkan hutan terestrial.
Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2022 menunjukkan bahwa luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 3,36 juta hektar. Sementara itu, berdasarkan laporan dari Pusat Riset Oseanografi – BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) tahun 2023, luas padang lamun di Indonesia yang telah terverifikasi mencapai 293.464 hektar. Potensi blue carbon dari kedua ekosistem pesisir ini sangat signifikan dalam mendukung pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia sebesar 43,20% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.
Tantangan dan Peluang Blue Carbon
Potensi blue carbon di Indonesia memang sangat besar, tetapi ada beberapa tantangan yang harus kita hadapi. Ekosistem pesisir dan laut kita, seperti hutan mangrove, padang lamun, dan rawa-rawa payau, seringkali terdegradasi karena alih fungsi lahan, pencemaran, dan penangkapan ikan yang merusak. Hal ini tentu saja mengancam kelestarian ekosistem blue carbon yang sangat penting dalam menyerap dan menyimpan karbon.
Tantangan lainnya adalah kurangnya data dan informasi. Kita masih kekurangan data tentang luas, kerapatan, dan kedalaman karbon di ekosistem blue carbon. Padahal, data-data ini sangat dibutuhkan untuk merencanakan dan mengelola ekosistem blue carbon dengan baik. Selain itu, keterbatasan kapasitas dan pendanaan juga menjadi penghambat dalam melakukan penelitian, pengelolaan, dan pemantauan ekosistem blue carbon.
Meskipun ada tantangan, kita juga memiliki peluang besar dalam pengembangan blue carbon. Kunci utamanya adalah meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat, terutama masyarakat pesisir. Mereka harus dilibatkan dalam upaya konservasi dan restorasi ekosistem blue carbon.
Selain itu, kita perlu mengembangkan skema pendanaan inovatif, seperti mekanisme carbon offset dan menerbitkan blue bonds, agar program blue carbon bisa berjalan secara berkelanjutan. Kerjasama internasional juga sangat penting. Kita bisa belajar dari negara lain dan organisasi internasional, berbagi pengetahuan, teknologi, dan mendapatkan dukungan pendanaan untuk pengembangan blue carbon di Indonesia.
Blue carbon dalam NDC Indonesia
Integrasi blue carbon dalam NDC Indonesia memang sebuah langkah strategis untuk mencapai target pengurangan emisi dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Kekayaan laut Indonesia, yang tercermin dalam potensi blue carbon yang dimilikinya, merupakan aset berharga yang harus kita kelola dengan bijak melalui berbagai upaya inovatif dan melibatkan banyak pihak. Meskipun kita dihadapkan pada sejumlah tantangan, seperti degradasi ekosistem, kurangnya data dan informasi, serta keterbatasan kapasitas dan pendanaan, namun peluang yang terbentang di hadapan kita jauh lebih besar. Dengan meningkatkan kesadaran dan partisipasi seluruh elemen masyarakat, mengembangkan skema pendanaan yang berkelanjutan, serta memperkuat kerjasama dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi blue carbon untuk mengatasi perubahan iklim dan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.