Jasa Perhitungan Gas Rumah Kaca Scope 3 untuk Sektor Industri Pupuk

Jasa Perhitungan Gas Rumah Kaca Scope 3 untuk Sektor Industri Pupuk

Industri pupuk di Indonesia dimulai pada tahun 1959 dengan pendirian PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) sebagai pelopor industri pupuk urea. Pabrik pertama berlokasi di Palembang dan mulai beroperasi pada tahun 1963 dengan kapasitas 100.000 ton urea per tahun. Pada tahun 1964, pabrik tersebut diresmikan oleh Wakil Perdana Menteri I, Chaerul Saleh, menandai tonggak penting dalam sejarah industri pupuk nasional. Untuk memenuhi kebutuhan pupuk yang terus meningkat, Pusri membangun beberapa pabrik tambahan, termasuk Pusri II (1974), Pusri III (1976), dan Pusri IV (1977), dengan kapasitas masing-masing mencapai hingga 570.000 ton per tahun. Pada tahun 1979, Pusri ditunjuk oleh pemerintah untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi ke seluruh wilayah Indonesia sebagai bagian dari program ketahanan pangan nasional.

Pembentukan Holding Company Industri Pupuk

Pada tahun 1997, pemerintah mengubah status PT Pupuk Sriwidjaja menjadi holding company yang membawahi beberapa anak perusahaan lainnya, seperti PT Petrokimia Gresik dan PT Pupuk Kujang. Tujuan dari transformasi ini adalah untuk mengoptimalkan produksi dan distribusi pupuk di Indonesia. Pada tahun 2012, nama perusahaan diubah menjadi PT Pupuk Indonesia (Persero) untuk menegaskan statusnya sebagai induk holding BUMN di sektor pupuk. Saat ini, industri pupuk di Indonesia terdiri dari beberapa perusahaan utama yang beroperasi di bawah naungan PT Pupuk Indonesia:

  1. PT Petrokimia Gresik
  2. PT Pupuk Kujang
  3. PT Pupuk Kalimantan Timur
  4. PT Pupuk Iskandar Muda
  5. PT Rekayasa Industri

Emisi Gas Rumah Kaca Scope 3 Industri Pupuk

Sektor industri pupuk memiliki peran penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian dan juga dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Namun, tenyata ada dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh sektor industri pupuk. Pada proses produksi pupuk melibatkan reaksi kimia yang menghasilkan berbagai jenis gas, termasuk amonia, nitrogen oksida, dan karbon dioksida. Gas-gas ini adalah gas rumah kaca yang berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim. Selain itu, penggunaan pupuk nitrogen sintetis dapat menyebabkan emisi nitrous oksida yang jauh lebih kuat daripada karbon dioksida dalam memerangkap panas.

Emisi GRK dikategorikan menjadi tiga scope:

  • Scope 1: Emisi langsung dari sumber yang dimiliki atau dikendalikan oleh perusahaan, seperti emisi dari pembakaran bahan bakar fosil dalam proses produksi.
  • Scope 2: Emisi tidak langsung dari pembelian energi, seperti listrik yang digunakan dalam proses produksi.
  • Scope 3: Semua emisi lainnya dalam rantai nilai perusahaan, baik di hulu maupun hilir, yang tidak termasuk dalam Scope 1 dan 2. Ini termasuk emisi dari bahan baku yang dibeli, transportasi, penggunaan produk, dan akhir masa pakai produk.

Menghitung Gas Rumah Kaca Scope 3 Industri Pupuk

Industri pupuk memiliki jejak karbon yang kompleks. Sederhananya, dampak lingkungan dari pupuk tidak hanya berhenti pada pabrik. Proses produksi bahan baku, transportasi, hingga penggunaan pupuk di lahan pertanian semuanya menghasilkan emisi gas rumah kaca. Misalnya, saat petani menggunakan pupuk nitrogen, gas nitrous oksida yang sangat berbahaya bagi lapisan ozon akan terlepas ke atmosfer. Ini seperti efek domino, di mana setiap tahap dalam siklus hidup pupuk berkontribusi pada perubahan iklim. Selain emisi langsung dari proses produksi, emisi gas rumah kaca (GRK) Scope 3 industri pupuk berasal dari:

  • Produksi bahan baku: Emisi dari penambangan fosfat, produksi amonia, dan bahan kimia lainnya.
  • Transportasi: Emisi dari transportasi bahan baku, produk jadi, dan limbah.
  • Penggunaan pupuk oleh petani: Emisi dari aplikasi pupuk di lahan pertanian, termasuk emisi nitrous oksida.
  • Produksi energi terbarukan untuk pupuk: Meskipun penggunaan energi terbarukan dapat mengurangi emisi, namun proses produksinya juga menghasilkan emisi.

Actia Carbon menyediakan platform penghitungan Gas Rumah Kaca (GRK), klik di sini. Dengan mengetahui secara rinci sumber-sumber emisi utama, kita dapat menyusun strategi yang lebih efektif untuk mengurangi dampak lingkungan. Transparansi mengenai emisi Scope 3 akan meningkatkan kepercayaan konsumen, investor, dan pemangku kepentingan lainnya terhadap perusahaan. Ini akan mendorong perusahaan untuk terus berinovasi dan mencari solusi yang lebih berkelanjutan. Dengan memahami kontribusi kita terhadap perubahan iklim, kita dapat mengambil tindakan nyata untuk melindungi planet kita bagi generasi mendatang.

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) di Sektor AFOLU Perkotaan

Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) di Sektor AFOLU Perkotaan

Menghadapi tantangan perubahan iklim menuntut upaya mitigasi yang terukur dan tepat sasaran. Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) menjadi fondasi penting untuk mengidentifikasi sumber emisi dan merumuskan strategi pengurangan emisi yang efektif. Sektor AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use) memegang peran krusial dalam siklus karbon, termasuk di wilayah perkotaan yang dinamis. Perkotaan, dengan karakteristik uniknya seperti fragmentasi lahan dan dominasi pemukiman, mengharuskan pendekatan khusus dalam implementasi IGRK. Artikel ini akan menelaah alternatif metode IGRK mikrosektor AFOLU di perkotaan dengan fokus pada pendekatan sektor kehutanan, khususnya studi kasus hutan kota di DKI Jakarta.

Karakteristik Unik Tutupan Lahan di Perkotaan dan Tantangan IGRK

Ekosistem perkotaan menampilkan beragam tutupan lahan, mulai dari hutan kota, pekarangan, pemukiman, lahan pertanian, hingga ruang terbuka hijau lainnya. Keragaman ini mencerminkan interaksi kompleks antara aktivitas manusia dan lingkungan. Berdasarkan IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, tutupan lahan di perkotaan diklasifikasikan menjadi beberapa kategori. Hutan kota, taman dengan pohon besar, dan area hijau lainnya yang memenuhi kriteria luasan minimum 0,25 hektar, lebar tajuk minimal 75 meter, dan tutupan tajuk lebih dari 30% termasuk dalam kategori forest land.

Lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pertanian, perkebunan, atau buah-buahan, baik monokultur maupun multistrata, seperti pekarangan rumah yang ditanami sayuran atau buah-buahan, tergolong dalam kategori crop land. Lahan terbuka yang didominasi rumput dan semak belukar, seperti lapangan olahraga dan taman kota dengan vegetasi rendah, dikategorikan sebagai grassland. Area pemukiman yang didominasi bangunan dan infrastruktur, seperti perumahan dan gedung perkantoran, masuk dalam kategori settlement. Sementara itu, lahan basah seperti rawa dan danau, termasuk dalam kategori wet land. Lahan yang tidak termasuk dalam kategori-kategori tersebut, seperti lahan kosong dan area industri, diklasifikasikan sebagai other lands.

Hutan kota di perkotaan, yang umumnya merupakan man-made forest, seringkali tersebar dalam bentuk poligon-poligon kecil dengan komposisi jenis pohon yang bervariasi. Kondisi ini menimbulkan tantangan dalam IGRK, seperti tingginya variabilitas tutupan lahan, skala yang kecil dan tersebar, serta keterbatasan akses ke beberapa area.

Peluang Pemanfaatan Teknologi dalam IGRK Perkotaan

Perkembangan teknologi informasi dan penginderaan jauh membuka peluang untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi IGRK di perkotaan. Citra satelit resolusi tinggi, seperti WorldView dan Pleiades, memungkinkan identifikasi dan delineasi tutupan lahan secara detail, bahkan hingga tingkat individu pohon. Drone yang dilengkapi dengan sensor seperti kamera RGB, multispektral, dan LiDAR dapat digunakan untuk pemantauan dan pengukuran biomassa pada skala kecil dengan cepat dan efisien.

Data LiDAR sangat bermanfaat untuk menghasilkan model 3D vegetasi dan mengestimasi biomassa secara akurat. Sistem Informasi Geografis (SIG) memudahkan analisis spasial, integrasi data dari berbagai sumber, dan visualisasi informasi inventarisassi gas rumah kaca (IGRK) secara komprehensif. SIG juga memungkinkan pemodelan dan simulasi untuk memprediksi perubahan tutupan lahan dan emisi GRK di masa depan. Selain itu, platform online dan mobile dapat dimanfaatkan untuk pengumpulan data lapangan, validasi data, dan diseminasi informasi inventarisassi gas rumah kaca (IGRK)kepada publik, sehingga mendorong partisipasi publik dalam IGRK melalui citizen science.

Metodologi IGRK yang Adaptif untuk Perkotaan

Implementasi Inventarisassi Gas Rumah Kaca (IGRK) di perkotaan membutuhkan pendekatan adaptif dan inovatif. Pemetaan dan pemantauan tutupan lahan yang akurat dapat dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit resolusi tinggi, drone, dan data LiDAR, yang kemudian divalidasi melalui pengumpulan data lapangan. Stratifikasi tutupan lahan perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika karbon, seperti jenis vegetasi, kerapatan vegetasi, umur tegakan, dan kondisi lingkungan. Data dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota, Dinas Tata Ruang, dan sumber lainnya dapat digunakan untuk melengkapi informasi stratifikasi.

Pembuatan plot permanen di berbagai strata tutupan lahan memungkinkan pengukuran faktor emisi dan simpanan karbon secara berkala. SNI 7724:2011 direvisi menjadi 7724:2019 menyediakan panduan untuk pembuatan plot permanen dan pengukuran faktor emisi dengan sampling error maksimum 20%. Penggunaan allometric equation yang sesuai dengan jenis pohon dan kondisi lingkungan penting untuk menghasilkan estimasi biomassa yang akurat. Selain biomassa pohon, faktor emisi lainnya yang perlu diukur antara lain karbon organik tanah, emisi dari dekomposisi serasah, dan emisi dari penggunaan lahan non-hutan.

Emisi GRK dihitung dengan mengalikan data aktivitas, seperti perubahan luas tutupan lahan, dengan faktor emisi yang relevan. Di perkotaan, sumber emisi utama sektor AFOLU berasal dari perubahan penggunaan lahan non-hutan, seperti konversi lahan pertanian menjadi pemukiman. Pemantauan perubahan penggunaan lahan non-hutan perlu diintensifkan untuk mendapatkan estimasi emisi yang akurat. Pelaporan inventarisassi gas rumah kaca (IGRK) perlu mengikuti standar dan pedoman yang ditetapkan oleh KLHK dan IPCC.

Rumus perhitungan emisi GRK
Emisi = Data Aktivitas (ha) x Faktor emisi (tCO2/ha)

Mengoptimalkan IGRK Perkotaan

Untuk mengoptimalkan IGRK sektor AFOLU di perkotaan, diperlukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan sertifikasi, pengembangan sistem database IGRK yang terintegrasi, kerjasama antar pemangku kepentingan, pemanfaatan teknologi informasi, sosialisasi dan edukasi publik, serta penelitian dan pengembangan metode IGRK yang lebih akurat dan adaptif.

Pendekatan adaptif dan inovatif diperlukan untuk menghasilkan estimasi emisi GRK yang akurat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh, stratifikasi tutupan lahan yang representatif, dan pengukuran faktor emisi yang akurat merupakan langkah kunci dalam implementasi IGRK perkotaan. Studi kasus hutan kota DKI Jakarta menunjukkan bahwa inventarisassi gas rumah kaca (IGRK) dapat diterapkan secara efektif dengan memanfaatkan teknologi dan kerjasama antar pemangku kepentingan. Dengan menerapkan langkah-langkah strategis yang telah diuraikan, diharapkan IGRK sektor AFOLU di perkotaan dapat terus ditingkatkan untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim dan mewujudkan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.

 

Pelestarian Mangrove untuk Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD)

Pelestarian Mangrove untuk Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD)

Sejalan dengan tujuan Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD), DKI Jakarta dengan garis pantainya yang panjang, memiliki peran penting dalam pelestarian mangrove di Indonesia. Ekosistem mangrove di Jakarta berperan dalam penyerapan karbon dan melindungi garis pantai. Melalui pelestarian dan rehabilitasi mangrove, DKI Jakarta berupaya membangun kota yang tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

Tim MABI: Kolaborasi Multi-Sektor dalam RPRKD

Pada tahun 2023, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membentuk Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Bencana Iklim (MABI) melalui Keputusan Gubernur Nomor 209 Tahun 2023. Tim ini bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program dan aksi mitigasi serta adaptasi perubahan iklim di Jakarta.

Tim MABI terdiri dari dua pokja utama, yaitu pokja mitigasi perubahan iklim dan pokja adaptasi perubahan iklim. Kedua pokja ini didukung oleh tiga pokja lainnya, yaitu pokja komunikasi dan partisipasi masyarakat, pokja pendanaan dan kolaborasi, serta pokja riset dan inovasi.

Mangrove Jakarta dalam Konteks Global

Indonesia memiliki sekitar 20% dari total mangrove dunia, yaitu sekitar 3,36 juta hektar. Jakarta, sebagai bagian dari Indonesia, memiliki peran penting dalam pelestarian mangrove secara global.

RPRKD

Peta Mangrove Nasional 2023 menunjukkan bahwa mangrove tersebar di berbagai wilayah pesisir Indonesia, termasuk di Jakarta. Sebagian besar mangrove di Jakarta terdapat di bagian utara dan barat kota, meliputi Taman Wisata Alam, Hutan Induk Angke Kapuk, Suaka Margasatwa, dan jalur pengaman tol bandara.

Upaya Pemulihan Mangrove di Jakarta

Pelestarian mangrove di Jakarta menghadapi berbagai tantangan, seperti alih fungsi lahan akibat urbanisasi, degradasi akibat pencemaran sampah, dan ekspansi pemukiman. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya memulihkan dan meningkatkan luas hutan mangrove melalui penanaman dan rehabilitasi.

Teknik Penanaman Mangrove di Jakarta

Di Jakarta, penanaman mangrove dilakukan dengan dua teknik utama, yaitu teknik guludan oleh Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (DPHK) dan teknik rumpun berjarak oleh Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (DKPKP).

Teknik guludan adalah metode inovatif yang dirancang untuk menanam mangrove di lahan yang terendam air dalam, biasanya dengan kedalaman antara 1 hingga 2 meter. Metode ini melibatkan pembuatan struktur guludan dari cerucuk bambu yang diisi dengan tanah untuk menciptakan media tumbuh bagi bibit mangrove.

Sementara itu, teknik rumpun berjarak juga digunakan untuk penanaman mangrove namun dengan pendekatan yang berbeda. Metode ini menekankan pada penanaman bibit dalam kelompok atau rumpun pada jarak tertentu untuk memaksimalkan pertumbuhan dan kesehatan tanaman.

Kolaborasi dalam Penanaman Mangrove

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengapresiasi dan mendukung partisipasi berbagai pihak dalam penanaman mangrove. Kolaborasi dengan masyarakat dan berbagai stakeholder lainnya diharapkan dapat mempercepat upaya pelestarian mangrove di Jakarta.

RTRW 2042: Dukungan Kebijakan untuk Pelestarian Mangrove

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2042 mencantumkan beberapa arah kebijakan yang mendukung pelestarian mangrove, seperti perwujudan lingkungan kota yang berkelanjutan, peningkatan RTH dan badan air permukaan, serta perlindungan pesisir pulau-pulau.

Salah satu fokus utama RTRW DKI Jakarta adalah penciptaan lingkungan perkotaan yang lebih ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Peningkatan RTH menjadi salah satu langkah kunci dalam menciptakan ruang terbuka yang tidak hanya berfungsi sebagai paru-paru kota, tetapi juga sebagai habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna, termasuk mangrove. Dengan memperbanyak RTH, Jakarta diharapkan dapat mengurangi polusi udara dan meningkatkan kualitas hidup warganya.

Selain itu, RTRW juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap badan air permukaan. Dalam konteks ini, pengelolaan mangrove menjadi krusial karena hutan mangrove berfungsi sebagai penyangga alami yang melindungi pesisir dari abrasi dan intrusi air laut. Mangrove juga memiliki peran vital dalam menjaga kualitas air dengan menyaring polutan serta menyediakan habitat bagi berbagai organisme laut. Oleh karena itu, kebijakan RTRW yang mendukung pelestarian mangrove merupakan langkah strategis untuk menjaga keseimbangan ekosistem pesisir Jakarta.

Perlindungan terhadap pesisir pulau-pulau di Jakarta juga menjadi fokus penting dalam RTRW 2042. Upaya ini mencakup penguatan garis pantai untuk mencegah abrasi, serta pemantauan dan penegakan hukum terhadap aktivitas yang merusak ekosistem mangrove. Dengan demikian, diharapkan kawasan pesisir Jakarta dapat tetap lestari dan berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi daratan dari ancaman kenaikan permukaan air laut.

Penguatan Kapasitas dan Peran Masyarakat

Selain penanaman dan rehabilitasi, upaya pelestarian mangrove juga dilakukan melalui penguatan kapasitas masyarakat, penangkaran biota laut, serta kegiatan konservasi dan rehabilitasi yang berbasis masyarakat.

Pelestarian mangrove merupakan bagian integral dari RPRKD DKI Jakarta. Melalui kolaborasi multi-sektor dan pelibatan masyarakat, diharapkan upaya pelestarian mangrove di Jakarta dapat terus ditingkatkan, sehingga ekosistem mangrove dapat terus berperan dalam menjaga keberlanjutan pesisir dan mendukung tercapainya target RPRKD.

 

Jasa Inventarisasi Gas Rumah Kaca Sektor Industri Margarine

Jasa Inventarisasi Gas Rumah Kaca Sektor Industri Margarine

Margarine sangat populer di beberapa negara sebagai alternatif dari mentega karena harganya yang lebih terjangkau. Margarine dibuat dari minyak nabati dari berbagai sumber seperti kacang-kacangan, minyak sawit, dan biji-bijian.

Perlu diketahui bahwa industri margarine sama seperti industri lainnya, proses produksi margarine juga berpotensi menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). Bahan baku utama dalam produksi margarine adalah minyak nabati. Minyak ini bisa berasal dari kelapa sawit, kedelai, bunga matahari, atau rapeseed. Selain itu, bahan tambahan seperti air, garam, dan emulsi juga digunakan untuk mencapai tekstur dan rasa yang diinginkan. Setiap bahan baku memiliki jejak karbon yang berbeda, yang perlu diperhitungkan dalam inventarisasi GRK.

Proses produksi margarine yang tidak dilakukan dengan efisiensi tinggi dan kontrol yang ketat dapat berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca. Jasa inventarisasi gas rumah kaca untuk industri margarine dapat membantu mengidentifikasi dan mengurangi emisi-emosi tersebut.

Bagaimana Margarine Dihasilkan?

Proses pembuatan margarine dimulai dengan pemurnian minyak nabati. Minyak tersebut kemudian diproses melalui hidrogenasi parsial untuk mengubahnya menjadi bentuk padat. Setelah itu, minyak dicampur dengan bahan tambahan dan didinginkan secara bertahap untuk membentuk tekstur margarine yang diinginkan. Proses ini melibatkan penggunaan energi yang dapat berkontribusi pada emisi GRK.

Proses Produksi di Sektor Industri Margarine

Proses produksi margarine dapat berpotensi menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui beberapa tahapan, antara lain:

  1. Pada fase minyak, minyak dan lemak dipanaskan dan dicampur untuk mendapatkan bobot yang tepat. Proses ini dapat menghasilkan emisi metana dan karbon dioksida (CO2) karena dekomposisi dan pembakaran bahan organik.
  2. Esterifikasi dan Transesterifikasi, proses ini melibatkan reaksi antara asam lemak dan alkohol untuk menghasilkan ester. Esterifikasi dapat menghasilkan emisi CO2 dan metana jika tidak dilakukan dengan kontrol yang ketat.
  3. Pasteurisasi dan Kristalisasi:
    • Pasteurisasi: Proses pemanasan air untuk memastikan kehigienisan produk dapat menghasilkan emisi CO2 dan metana jika tidak dilakukan dengan efisiensi tinggi.
    • Kristalisasi: Proses ini melibatkan pendinginan dan penggumpalan emulsi untuk menghasilkan margarin. Pendinginan yang tidak tepat dapat meningkatkan emisi metana dan CO2.
  4. Proses produksi margarine memerlukan energi untuk pengolahan, pemanasan, dan pendinginan. Penggunaan energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas dapat meningkatkan emisi CO2 dan metana.
  5. Penggunaan Bahan Tambahan seperti pewarna, perasa, dan pengemulsi dapat meningkatkan emisi jika tidak diproses dengan efisiensi tinggi. Contohnya, penggunaan lesitin, monogliserida, dan digliserida dalam proses pengemulsi dapat berkontribusi pada emisi jika tidak dikontrol dengan baik.

Sumber Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Industri Margarine

Industri margarine menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari beberapa sumber utama. Pertama, penggunaan energi dalam proses pemurnian, hidrogenasi, pencampuran, dan pendinginan memerlukan energi dalam jumlah besar, yang sering kali berasal dari bahan bakar fosil. Kedua, transportasi bahan baku ke pabrik dan produk jadi ke pasar juga menyumbang emisi GRK. Terakhir, proses manufaktur yang melibatkan reaksi kimia dan fisik dapat menghasilkan emisi gas seperti CO2 dan metana. Oleh karena itu, industri margarine memiliki peran signifikan dalam produksi emisi GRK yang perlu dipertimbangkan untuk pengurangan dampak lingkungan.

Dampak Sektor Industri Margarine terhadap Lingkungan

Emisi GRK dari industri margarine dapat berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim. Selain itu, penggunaan minyak nabati seperti kelapa sawit dapat menyebabkan deforestasi dan hilangnya habitat bagi satwa liar. Dampak lingkungan ini dapat merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati, serta mempengaruhi kualitas hidup manusia.

Cara Mengurangi Dampak Negatif Sektor Industri Margarine

Untuk mengurangi dampak negatif industri margarine terhadap lingkungan, langkah-langkah berikut dapat diambil:

  1. Efisiensi Energi: Menerapkan teknologi yang lebih efisien dalam penggunaan energi untuk mengurangi emisi GRK.
  2. Sumber Energi Terbarukan: Mengganti bahan bakar fosil dengan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya atau angin.
  3. Pemilihan Bahan Baku yang Ramah Lingkungan: Menggunakan bahan baku dari sumber yang berkelanjutan dan memiliki jejak karbon rendah.
  4. Pengelolaan Limbah yang Baik: Mengelola limbah industri secara efektif untuk mengurangi emisi dan dampak lingkungan lainnya.
  5. Transportasi: Mengoptimalkan rute transportasi dan menggunakan kendaraan yang lebih efisien untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi.

Bagaimana Actia Dapat Membantu Sektor Industri Margarine Melakukan Inventarisasi GRK?

Actia, sebagai perusahaan konsultan lingkungan yang telah berpengalaman dalam melakukan inventarisasi gas rumah kaca untuk berbagai industri, termasuk industri margarin. Actia dapat membantu industri margarine dalam:

  • Mengidentifikasi Sumber Emisi: Melakukan analisis mendalam untuk mengidentifikasi semua sumber emisi GRK dalam proses produksi.
  • Mengukur dan Melaporkan Emisi: Menggunakan metode yang tepat untuk mengukur emisi GRK dan menyediakan laporan yang terperinci.
  • Menyusun Strategi Pengurangan Emisi: Mengembangkan strategi dan rencana aksi untuk mengurangi emisi GRK dan meningkatkan efisiensi energi.

Perusahaan yang Bergerak di Sektor Industri Margarine

  1. PT. Bina Karya Prima
    Produk: Forvita
  2. PT. Sinar Meadow International Indonesia
    Produk: Mother Choice’s
  3. PT. Musim Mas Group
    Produk: Margareta, Voila
  4. PT. Wilmar Nabati Indonesia
    Produk: Sania Margarine
  5. PT. Sungai Budi Group 
    Produk: Rose Brand

Dengan bantuan dari Actia, perusahaan Anda dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi emisi GRK dan berkontribusi pada pelestarian lingkungan. Inventarisasi yang akurat dan strategi pengurangan emisi yang efektif merupakan salah satu kunci untuk mencapai keberlanjutan dalam sektor industri margarine. Klik disini untuk berdiskusi!

 

Konsultan Penyusun Science Based Targets Initiative (SBTi) Sektor Industri Barang dari Gips untuk Konstruksi

Konsultan Penyusun Science Based Targets Initiative (SBTi) Sektor Industri Barang dari Gips untuk Konstruksi

Perubahan iklim yang terjadi saat ini dapat kita rasakan dampaknya, menuntut industri dan para pelaku usaha harus bergerak cepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan target pengurangan emisi yang berbasis ilmu pengetahuan melalui Science Based Targets Initiative (SBTi). Di sini, kita akan membahas tentang industri barang dari gips untuk konstruksi, proses kegiatan industri ini, contoh produk, sumber emisi GRK, fungsi dan keuntungan memiliki SBTi, serta contoh perusahaan yang bergerak di sektor ini.

 

Science Based Targets Initiative (SBTi) untuk Industri di Indonesia

SBTi adalah kerangka kerja yang membantu perusahaan menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca yang berbasis pada sains, selaras dengan tujuan Perjanjian Paris untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C.

Science Based Targets Initiative (SBTi) memberikan panduan bagi industri untuk menetapkan target pengurangan emisi yang ambisius dan berbasis ilmiah. Bagi industri barang dari gips untuk konstruksi, SBTi membantu dalam mengidentifikasi area-area kritis dimana emisi dapat dikurangi secara signifikan. Dengan menetapkan target ini, perusahaan tidak hanya berkontribusi pada upaya global untuk memerangi perubahan iklim, tetapi juga meningkatkan efisiensi operasional dan daya saing mereka di pasar.

 

Sektor Industri Barang dari Gips untuk Konstruksi

Industri dengan kode KBLI 23954 mencakup pembuatan barang dari gips yang digunakan dalam konstruksi, seperti papan, lembaran, panel, dan lain-lain. Selain itu, kelompok ini juga mencakup industri bahan bangunan dari substansi tumbuh-tumbuhan seperti wol kayu, alang-alang, jerami, yang disatukan dengan plester gips. Produk-produk ini digunakan secara luas dalam konstruksi bangunan, baik untuk keperluan struktural maupun dekoratif.

 

Proses Produksi Barang dari Gips untuk Konstruksi

Proses produksi barang dari gips melibatkan beberapa tahapan utama:

  1. Penambangan Gips: Bahan baku gips diperoleh dari tambang gips yang terletak di berbagai wilayah.
  2. Penghancuran dan Penggilingan: Gips mentah dihancurkan dan digiling untuk menghasilkan bubuk gips dengan ukuran partikel yang sesuai.
  3. Pemanasan (Kalsinasi): Bubuk gips kemudian dipanaskan pada suhu tinggi untuk mengurangi kandungan air dan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil.
  4. Pencampuran dan Pembentukan: Bubuk gips yang telah dikalsinasi dicampur dengan air dan bahan tambahan lainnya untuk membentuk adonan. Adonan ini kemudian dicetak menjadi berbagai bentuk seperti papan, lembaran, dan panel.
  5. Pengeringan dan Pengerasan: Produk yang telah dicetak dikeringkan dan dikeraskan untuk mencapai kekuatan dan stabilitas yang diinginkan.
  6. Finishing: Produk akhir diberi finishing sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan, seperti pemotongan, pelapisan, atau pengecatan.

 

Contoh Produk dan Kegunaannya

Beberapa produk yang dihasilkan oleh industri barang dari gips untuk konstruksi meliputi:

  • Papan Gipsum: Digunakan untuk dinding dan langit-langit interior.
  • Panel Gipsum: Digunakan untuk partisi ruangan dan plafon.
  • Gipsum Blok: Digunakan untuk dinding non-struktural.
  • Dekorasi Gipsum: Digunakan untuk elemen dekoratif seperti cornice dan medali.

Produk-produk ini digunakan karena sifatnya yang mudah dibentuk, ringan, tahan api, dan memiliki insulasi suara yang baik.

 

Sumber Emisi Gas Rumah Kaca dari Industri Barang Gips untuk Konstruksi

Industri barang dari gips untuk konstruksi merupakan salah satu industri yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Emisi ini berasal dari berbagai tahapan produksi hingga distribusi. Berikut penjelasan mengenai contoh sumber emisi gas rumah kaca (GRK) dalam industri ini:

  1. Penambangan: Penambangan bahan baku gips biasanya memerlukan penggunaan alat berat yang menggunakan bahan bakar fosil.
  2. Penghalusan (Crusher): Proses penghalusan batu gips menjadi bubuk gips memerlukan energi yang cukup besar. Mesin crusher yang digunakan biasanya beroperasi dengan tenaga listrik, yang sumber listriknya seringkali berasal dari pembakaran bahan bakar fosil.
  3. Kalsinasi: Kalsinasi adalah proses pemanasan gips untuk menghilangkan air dan mengubahnya menjadi kalsium sulfat hemihidrat. Proses ini membutuhkan energi listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga batu bara, gas, berpotensi menghasilkan emisi CO2.
  4. Pengeringan: Setelah proses kalsinasi, bubuk gips perlu dikeringkan untuk mengurangi kadar air. Proses pengeringan ini juga memerlukan alat dan energi tambahan yang dapat menghasilkan emisi. Misalnya penggunaan oven pengering yang menggunakan bahan bakar fosil atau listrik dari sumber non-renewable berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca.
  5. Pemotongan: Proses pemotongan produk akhir gips menjadi ukuran yang diinginkan juga memerlukan energi, biasanya dalam bentuk listrik. Penggunaan mesin pemotong yang efisien energi dapat mengurangi emisi, namun jika sumber listriknya berasal dari fosil, tetap akan menghasilkan emisi CO2.
  6. Transportasi dan Distribusi: Transportasi bahan baku dari lokasi penambangan ke pabrik maupun distribusi barang jadi dari pabrik ke lokasi konstruks juga menghasilkan emisi gas rumah kaca.

 

Cara Mengatasi atau Mengurangi Dampak Negatif Terhadap Lingkungan

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif industri gipsum terhadap lingkungan:

  1. Penggunaan Energi Terbarukan: Mengganti sumber energi fosil dengan energi terbarukan seperti tenaga surya atau angin.
  2. Efisiensi Energi: Meningkatkan efisiensi penggunaan energi dalam proses produksi.
  3. Teknologi Ramah Lingkungan: Mengadopsi teknologi yang lebih bersih dan ramah lingkungan dalam proses produksi.
  4. Manajemen Limbah: Mengelola limbah produksi dengan cara yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.
  5. Transportasi Ramah Lingkungan: Menggunakan kendaraan yang lebih efisien dan ramah lingkungan untuk transportasi bahan baku dan produk.

 

Keuntungan Memiliki Science Based Targets Initiative (SBTi) untuk Industri Barang dari Gips untuk Konstruksi

Manfaat dari memiliki SBTi dalam industri barang dari gips untuk konstruksi meliputi:

  1. Memperkuat Citra Perusahaan: Menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan, yang dapat meningkatkan reputasi perusahaan di mata pelanggan, investor, dan pemangku kepentingan lainnya.
  2. Mematuhi Peraturan: Membantu perusahaan mematuhi peraturan lingkungan yang semakin ketat dan mengurangi risiko terkena sanksi.
  3. Efisiensi Operasional: Mendorong perusahaan untuk mengadopsi praktik efisiensi energi yang dapat mengurangi biaya operasional.

 

Perusahaan di Sektor Industri Barang dari Gips untuk Konstruksi

Berikut adalah beberapa perusahaan yang bergerak di sektor industri barang dari gips untuk konstruksi:

  1. PT. Knauf Plasterboard Indonesia: Memproduksi papan gipsum, lembaran gipsum, dan aksesori terkait.
  2. PT Siam-Indo Gypsum Industry: Menghasilkan papan gipsum untuk dinding dan langit-langit.
  3. PT Aplus Pacific: Memproduksi papan gipsum dan bahan bangunan lainnya.
  4. PT Saint-Gobain Construction Products Indonesia: Memproduksi sistem plafon dan dinding dari gipsum.
  5. PT Holcim Indonesia: Memproduksi barang dari gips. Gips digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan semen, dan dicampur dengan klinker pada penggilingan akhir

 

Menyusun Science Based Targets Initiative (SBTi) Bersama Actia

Actia dapat membantu industri gipsum dalam menyusun dan mengimplementasikan Science Based Targets Initiative (SBTi) melalui berbagai layanan:

  1. Analisis Baseline Emisi: Mengidentifikasi dan menghitung emisi GRK saat ini dari seluruh operasi perusahaan.
  2. Penetapan Target: Membantu perusahaan menetapkan target pengurangan emisi yang sesuai dengan standar SBTi.
  3. Pengembangan Strategi: Merancang strategi dan rencana aksi untuk mencapai target pengurangan emisi.
  4. Pelatihan dan Pengembangan Kapasitas: Memberikan pelatihan dan pengembangan kapasitas kepada staf perusahaan untuk memastikan keberhasilan implementasi SBTi.
  5. Pemantauan dan Evaluasi: Melakukan pemantauan dan evaluasi berkala untuk memastikan bahwa perusahaan tetap berada di jalur yang benar dalam mencapai target mereka.
  6. Laporan dan Komunikasi: Membantu perusahaan dalam menyusun laporan kemajuan dan berkomunikasi dengan stakeholder mengenai upaya keberlanjutan mereka.

 

Fungsi Science Based Targets Initiative (SBTi) untuk Industri Barang dari Gips untuk Konstruksi

  1. Menetapkan Target Pengurangan Emisi: Membantu perusahaan menetapkan target pengurangan emisi yang berbasis sains dan konsisten
  2. Menyediakan Panduan Teknis: Memberikan panduan teknis mengenai cara mengukur, melaporkan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
  3. Validasi Target: Memastikan bahwa target yang ditetapkan perusahaan telah divalidasi dan sesuai dengan metodologi SBTi.
  4. Memastikan Ketaatan Peraturan: Dengan mengikuti panduan SBTi, perusahaan dapat memastikan bahwa mereka mematuhi peraturan lingkungan yang semakin ketat.
  5. Meningkatkan Citra Perusahaan: Memiliki target yang diakui oleh SBTi dapat meningkatkan reputasi perusahaan di mata konsumen dan investor yang peduli lingkungan.
  6. Mengurangi Risiko: Dengan mengelola emisi secara proaktif, perusahaan dapat mengurangi risiko terkait perubahan iklim, seperti risiko regulasi dan risiko reputasi.

 

Apakah perusahaan Anda merupakan industri barang dari gipsum dan membutuhkan bantuan untuk menyusun Science Based Targets Initiative (SBTi)? Klik di sini, Actia siap membantu.

 

PT ACTIA BERSAMA SEJAHTERA

Office 1 – Lantai 18, Office 8 – Senopati Jl. Senopati Jl. Jenderal Sudirman No. 8B, SCBD, Kebayoran Baru, South Jakarta City, Jakarta 12190

Office 2 – Ruko Puncak CBD no 8F APT, Jl. Keramat I, RT.003/RW.004, Jajar Tunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur, 60229

 

Hubungi Kami

PT Actia Bersama Sejahtera – Support oleh Dokter Website