NDC dalam Paris Agreement pada tahun 2015, dunia berpacu untuk menekan laju kenaikan suhu bumi. Awalnya, target yang ditetapkan adalah menjaga kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius. Namun, studi dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa target tersebut tidak cukup. Untuk meminimalkan risiko dan biaya yang ditimbulkan, kenaikan suhu harus ditekan hingga maksimal 1,5 derajat Celcius. Laporan terbaru IPCC pada tahun 2022 semakin mempertegas urgensi ini, memaksa dunia untuk beralih dari skenario 2 derajat Celcius ke 1,5 derajat Celcius.
Perubahan target ini memberikan tantangan besar bagi seluruh negara, termasuk Indonesia. Terlebih lagi, situasi global yang tidak menentu, seperti pertumbuhan ekonomi yang melambat, konflik geopolitik, dan krisis energi, semakin memperumit upaya penanggulangan perubahan iklim.
Respon Global dan Tekanan terhadap Negara Berkembang
Menghadapi tantangan ini, komunitas internasional merespons dengan berbagai langkah. Forum G7, G20, dan Conference of the Parties (COP) UNFCCC mendorong percepatan transisi energi. Net Zero Emission, yang awalnya hanya himbauan, kini didesak untuk menjadi komitmen, meskipun hingga saat ini belum menjadi target resmi UNFCCC.
Tekanan juga dirasakan oleh negara-negara berkembang, khususnya yang tergabung dalam G20 seperti Indonesia, Cina, India, dan Brazil. Negara-negara ini dituntut untuk berkontribusi lebih dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, setara dengan negara maju. Hal ini menjadi dilema tersendiri. Protokol Kyoto, yang berlaku sebelum tahun 2020, membedakan tanggung jawab antara negara maju (Annex I) dan negara berkembang (Non-Annex I). Negara berkembang, termasuk Indonesia, memiliki kewajiban pengurangan emisi yang bersifat sukarela, sementara negara maju bersifat wajib. Dalam kerangka Persetujuan Paris, semua negara kini memiliki kewajiban yang sama.
Indonesia, di berbagai kesempatan, menegaskan komitmennya untuk berbagi tanggung jawab (burden sharing), tetapi menolak pemindahan tanggung jawab (burden shifting). Sebagai negara yang baru mulai mengemisikan gas rumah kaca setelah revolusi industri, Indonesia berpendapat bahwa tanggung jawabnya seharusnya lebih ringan dibandingkan negara maju yang telah mengemisi sejak jauh lebih lama.
Indonesia Memimpin dengan Memberi Contoh: Aksi Nyata dalam Penanggulangan Perubahan Iklim
Dalam diplomasi lingkungan, Indonesia mengusung prinsip “leading by examples”. Setiap kertas posisi yang disampaikan Indonesia selalu didasarkan pada aksi nyata di lapangan. Sejak Persetujuan Paris, Indonesia telah menyampaikan empat dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
- 2015: Intended NDC disampaikan sebelum ratifikasi.
- 2016: First NDC disampaikan setelah ratifikasi, dengan komitmen pengurangan emisi 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.
- 2021: Updated NDC disampaikan dengan komitmen yang sama (29% dan 41%), namun memasukkan sektor kelautan dalam adaptasi.
- 2022: Enhanced NDC disampaikan sebelum COP27 di Sharm El Sheikh, meningkatkan ambisi menjadi 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan dukungan internasional.
Selain NDC, Indonesia juga menyampaikan dokumen Indonesia REDD+ National, Adaptation Communication, dan telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 21 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, dan Peraturan Presiden Nomor 129 Tahun 2022 tentang Ratifikasi Amandemen Kigali. Ratifikasi Amandemen Kigali ini memungkinkan Indonesia untuk memasukkan HFC (Hidrofluorokarbon) dalam perhitungan gas rumah kaca, yang sebelumnya hanya mencakup CO2, CH4, dan N2O.
Peran Strategis Ekosistem Laut dan Pesisir: Menuju NDC Kedua
Isu kelautan bukanlah hal baru dalam UNFCCC. Sejak awal, ekosistem pesisir dan laut (coastal and marine ecosystem) telah diakui sebagai bagian penting, sejajar dengan ekosistem daratan (terrestrial ecosystem). Pada Persetujuan Paris 2015, perlindungan keanekaragaman hayati laut ditegaskan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya perubahan iklim.
Indonesia, bersama negara-negara kepulauan kecil, mengajukan proposal pada COP25 di Madrid (2019) agar isu kelautan dibahas lebih lanjut dalam UNFCCC. Hasilnya, pada COP26 di Glasgow (2021), disepakati penyelenggaraan dialog tentang iklim dan laut. Meskipun belum menjadi elemen negosiasi, ini merupakan langkah maju yang penting.
Dalam Enhanced NDC, Indonesia telah memasukkan isu kelautan dalam elemen adaptasi, yang mencakup ketahanan ekonomi, ketahanan lanskap, dan ketahanan mata pencaharian. Namun, untuk mitigasi, ekosistem pesisir, termasuk mangrove, belum dimasukkan secara penuh. Mangrove baru dimasukkan dalam sektor FOLU (Forest and Other Land Use) sebatas tutupan mangrove sebagai hutan, belum memperhitungkan karbon yang tersimpan di bawah tanah dan dalam endapan.
Tantangan dan Langkah Selanjutnya
Indonesia telah memasukkan blue carbon (karbon biru) dalam inventarisasi gas rumah kaca, meskipun masih terbatas. Hal ini disebabkan oleh belum lengkapnya pedoman (guidelines) dari IPCC terkait metodologi perhitungan blue carbon. Saat ini, Indonesia baru bisa memasukkan mangrove sebagai hutan dalam sektor FOLU.
Tantangan utama saat ini adalah mengembangkan metodologi yang akurat untuk menghitung karbon yang tersimpan di ekosistem pesisir lainnya, seperti padang lamun (seagrass) dan rawa pasang surut (tidal marsh). Selain itu, diperlukan data series dan monitoring yang berkelanjutan untuk ekosistem-ekosistem tersebut.
Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat untuk mencapai target NDC, serta dalam penanggulangan perubahan iklim, termasuk melalui strategi blue carbon. Meskipun masih terdapat berbagai tantangan, langkah-langkah yang telah diambil menunjukkan bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat untuk mencapai target NDC dan berkontribusi pada upaya global menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Dengan terus mengembangkan metodologi, memperkuat kapasitas, dan menjalin koordinasi antar pemangku kepentingan,
Indonesia berpotensi dalam pemanfaatan blue carbon untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Actia, bergerak di bidang carbon management, siap membantu segala kebutuhan Anda. Ke depannya penting untuk terus memperkuat upaya-upaya ini, tidak hanya fokus pada aspek penurunan emisi dan perdagangan karbon, tetapi juga pada penguatan ketahanan iklim melalui perlindungan dan pemulihan ekosistem pesisir dan laut.