Bencana hidrometeorologi bisa dibilang sebagai salah satu dampak perubahan iklim yang kian nyata di Indonesia. Data dan statistik terkini menunjukkan tren peningkatan suhu, curah hujan ekstrem, dan anomali muka laut. Laporan terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2023 menyebutkan bahwa suhu bumi telah meningkat sebesar 1,1 derajat Celcius dibandingkan masa pra-industri. Proyeksi peningkatan temperatur global di atas 1,5 derajat Celcius, bahkan mencapai 3,5 derajat Celcius, menjadi peringatan keras bagi seluruh dunia.
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan konsentrasi penduduk di wilayah pesisir, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kenaikan muka air laut merupakan ancaman serius yang dapat menenggelamkan sebagian wilayah pesisir dan berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Studi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, berpotensi mengalami kenaikan muka air laut yang signifikan dalam beberapa dekade mendatang.
Kenaikan Muka Air Laut dan Krisis Air di Indonesia
Sebagai negara kepulauan, Indonesia rentan terhadap kenaikan muka air laut. Hal ini menyebabkan intrusi air laut yang mencemari sumber air bersih dan memperparah krisis air di wilayah pesisir. Kenaikan muka air laut akan mengancam pemukiman, infrastruktur, dan ekosistem pesisir. Abrasi, intrusi air laut, dan banjir rob merupakan beberapa dampak kenaikan muka air laut yang sudah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini mengakibatkan kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan, dan gangguan terhadap kehidupan masyarakat.
Cuaca Ekstrem dan Bencana Hidrometeorologi
Perubahan iklim juga memicu cuaca ekstrem yang ditandai dengan curah hujan tinggi dalam waktu singkat. Fenomena ini meningkatkan potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor. Sayangnya, ketangguhan infrastruktur dan kebijakan pembangunan di Indonesia belum sepenuhnya mampu mengantisipasi intensitas cuaca ekstrem tersebut.
Sistem drainase perkotaan umumnya didesain berdasarkan periode ulang 50 tahun, sementara cuaca ekstrem dapat memicu intensitas hujan yang melampaui periode ulang 100 tahun. Akibatnya, ketika hujan deras menguyur, kota-kota kita kerap kali lumpuh diterjang banjir. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023 saja, tercatat lebih dari 1.000 kejadian banjir di seluruh Indonesia yang mengakibatkan kerugian material dan korban jiwa.
Dominasi Bencana Hidrometeorologi di Indonesia
Bencana hidrometeorologi mendominasi jenis bencana alam di Indonesia. Data BNPB menunjukkan bahwa lebih dari 60% bencana alam yang terjadi berkaitan dengan air. Tren kekeringan juga menunjukkan peningkatan, terutama dengan adanya fenomena El Niño yang diprediksi akan memicu musim kemarau panjang. Kekeringan berkepanjangan dapat mengancam ketersediaan air bersih, produksi pangan, dan meningkatkan risiko kebakaran hutan. Pada tahun 2023, beberapa wilayah di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur dan Jawa Tengah, mengalami kekeringan yang cukup parah sehingga memerlukan bantuan air bersih dari pemerintah.
Kerentanan Banjir di Perkotaan
Banjir merupakan permasalahan klasik yang menghantui hampir seluruh metropolitan di Indonesia, baik yang berada di kawasan pesisir maupun di wilayah pedalaman. Jakarta, sebagai ibu kota yang berada di dataran rendah dan pesisir, menjadi salah satu kota dengan tingkat kerentanan banjir yang tinggi. Namun, permasalahan banjir juga menyerang kota-kota besar lainnya, seperti Bandung, Surakarta, dan Semarang. Hampir 40% bencana banjir terjadi di kawasan perkotaan dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini menunjukkan kompleksitas permasalahan banjir perkotaan yang dipicu oleh berbagai faktor, mulai dari perubahan iklim dan urbanisasi yang tidak terkendali, hingga tata ruang yang tidak berwawasan lingkungan dan pengelolaan sampah yang masih belum optimal.
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim: Strategi Menghadapi Banjir Perkotaan
Dalam menghadapi tantangan banjir perkotaan di tengah perubahan iklim, diperlukan strategi terpadu yang mencakup upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berfokus pada upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperlambat laju perubahan iklim. Transisi energi dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan, penghijauan di perkotaan, dan penggunaan transportasi publik merupakan beberapa contoh upaya mitigasi yang dapat dilakukan. Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Sementara itu, adaptasi berfokus pada upaya menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim yang sudah terjadi. Peningkatan infrastruktur yang tahan terhadap bencana, penataan ruang yang berwawasan lingkungan, peningkatan kapasitas masyarakat, dan pengembangan sistem peringatan dini merupakan langkah-langkah adaptasi yang perlu diimplementasikan.
Perubahan Iklim Memperparah Krisis Air
Selain banjir, perubahan iklim juga memperparah ancaman krisis air di Indonesia. Distribusi penduduk yang tidak merata antar pulau dan peningkatan kebutuhan air akibat pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi menciptakan tekanan pada ketersediaan air di berbagai wilayah. Proyeksi ketersediaan air pada tahun 2045 menunjukkan bahwa krisis air akan semakin meluas di Indonesia, terutama di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa neraca air di Pulau Jawa sudah mengalami defisit, sementara wilayah lainnya masih menunjukkan tren positif. Namun, dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim yang terjadi, krisis air diprediksi akan menjalar ke wilayah-wilayah